
Namun pada cetakan baru terbitan Maktabah ash-Shafa yang terletak
di Darbu al-Atrak di samping Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, dengna
pentahkiknya Syaikh Thaha Abdur R’uf Sa’ad, buku itu mengalami perubahan teks
asli.
Ucapan Syaikh Muhammad Makki Nashr al-Juraisi dipalsukan.
Diduga, pemalsuan ini dilakukan oleh pihak penerbit, yaitu Maktabah ash-Shafa,
yang memang kencang menerbitkan buku-buku berfaham Salafi Wahabi di Mesir. Di
dalam buku yang dipalsukan itu, mereka enggan untuk menulis dan mengakui—sesuai
teks aslinya—bahwa Syaikh Muhammad Makki Nashr al-Juraisi adalah seorang sufi
yang menempuh jalan tarekat (thariqah) Imam Sadzily, bahkan beliau menyelam dan
basah kuyup di dalam tarekat sufinya itu.
Inilah scan teks dari buku Nihayah al-Qaul al-Mufid fi Ilm
at-Tajwid versi asli sebelum dipalsukan (silakan cermati redaksi yang digarisbawah):
Sedangkan gambar di bawah ini adalah versi palsu berikut perubahan
teksnya:
Anda dapat membandingkan tulisan tersebut, antara versi yang telah
diubah (palsu) dengan versi asli, khususnya yang tulisannya ditandai dengan
garis. Lebih jelasnya, penulis salinkan tulisan di versi asli tersebut sebagai
berikut:
فيقول أسير الشهوات كثير
الهفوات الرا خي من مولاه الفوز والنصر الفقير محمد مكي نصر الجريسيّ مولدا
والشافعي مذهبا الشاذلي طريقة ومشربا. إن
أولي ما شغل العبد به لسانه وعمر به قلبه وجنانه وأفضل مايقوسل به إلي نيل الغفران
وأعظم مايتو صل به إلي دخول الجنان قراءة كتاب الله الجيد
“Telah berkata-orang yang digelari-sang Pemenjara Syahwat, sang
Banyak Hikmah, sang Pengharap Pertolongan dan Kemenangan dari Tuhannya, yaitu
al-Faqir Muhammad Makki Nashr yang dilahirkan di Jurais, bermazhab Syafi’i, bertarekat
Syadzili dan menyelam di dalamnya: “Sesungguhnya kesibukan seorang hamba
yang paling utama dari lidah, hati dan pikirannya, dan tawasul yang paling
afdal untuk memperoleh ampunan Allah, serta wasilah yang paling agung untuk
masuk ke dalam surga-Nya adalah membaca Al-Qur’ an yang mulia…”
Sedangkan tulisan pada versi palsunya tertulis:
فيقول أسير الشهوات كثير الهفوات الرا خي من مولاه
الفوز والنصر الفقير محمد مكي نصر الجريسيّ مولدا والشافعي مدهبا . إن أولي ما شغل
العبد به لسانه وعمر به قلبه وجنانه وأفضل مايقوسل به إلي نيل الغفران وأعظم مايتو
صل به إلي دخول الجنان قراءة كتاب الله الجيد
“Telah berkata-orang yang digelari-sang Pemenjara Syahwat,
sang Banyak Hikmah, sang Pengharap Pertolongan dan Kemenangan dari Tuhannya,
yaitu al-Faqir Muhammad Makki Nashr yang dilahirkan di Jurais, bermazhab
Syafi’i, * * * ** kalimat di sini menghilang* * * * *: “Sesungguhnya
kesibukan seorang hamba yang paling utama dari lidah, hati, dan pikirannya, dan
tawasul yang paling afdal untuk memperoleh ampunan Allah, serta sarana yang
paling agung untuk masuk ke dalam surga- Nya adalah membaca Al-Qur’an yang
mulia…”
Dengan penghapusan dan pemalsuan tersebut, sepertinya Salafi
Wahabi merasa takut sekali jika umat Islam mengamalkan nilai-nilai ajaran
tasawuf. Padahal, nilai-nilai tasawuf itu pada hakikatnya dari Rasulullah Saw.
Pada masa Rasul, sebagaimana masyhur adanya, kata tasawuf sebagai istilah
tentang ilmu tertentu belum muncul, namun hakikat dan spiritnya sudah ada dalam
kehidupan sehari-hari beliau. Demikian pula istilah fikih, ilmu kalam, dan
lain-lain. Sebaiknya, biarkan saja teks-teks tulisan ulama berada di buku
itu seperti apa adanya, tidak perlu diubah, apalagi dipalsukan. Sebab, tasawuf
ada dalilnya dari ajaran Rasulullah Saw., dan karenanya perlu disampaikan,
bukan ditutup-tutupi. Biarkan saja umat yang menilai, mana yang baik dan mana
yang buruk. Toh Rasulullah Saw telah menjamin bahwa umatnya tidak akan mudah
tergelincir ke dalam jurang kemusyrikan, sebagaimana disinggung pada sebuah
hadis:
إنّي اُعطيت مفاتيح خزثڽ الأرض أومفاتيح الأرض
وإنّي والله ما أخاف عليكم أن تشركوا بعدي ولكن أخاف عليكم أن تنافسوا فيها
“Sesungguhnya aku telah diberikan berbagai kunci gudang-gudang
dunia—atau kunci-kunci dunia—dan sesungguhnya aku tidak takut (sama sekaii)
kalian akan musyrik setelah wafatku. Namun, yang aku takutkan terhadap kalian
adalah kalian saling memperebutkan dunia.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad,
Baihaqi, Thabarani, Ibnu Hibban dan lainnya). [Sarkub.Com]
*)Referensi:
Kejahatan Wahabi Yang Merombak Kitab al-Washiyyah
Karya Imam Abu Hanifah
Tradisi buruk kaum Musyabbihah dalam merombak karya para ulama
Ahlussunnah terus turun-temurun dan berlangsung hingga sekarang. Kaum
Wahhabiyyah di masa sekarang, yang notabene kaum Musyabbihah juga telah
melakukan perubahan yang sangat fatal dalam salah satu karya al-Imâm Abu
Hanifah berjudul al-Washiyyah. Dalam Kitab berjudul al Washiyyah yang merupakan
risalah akidah Ahlussunnah karya Imam agung, Abu Hanifah an Nu’man ibn Tsabit
al Kufiyy (w 150 H), beliau menuliskan :
استوى على العرش من غير أن يكون احتياج إليه
واستقرار عليه
(Artinya; Dia Allah Istawâ atas arsy dari tanpa membutuhkan kepada
arsy itu sendiri dan tanpa bertempat di atasnya).
Perhatikan manuskrip kitab al Washiyyah ini:
Namun dalam cetakan kaum Wahabi tulisan Imam Abu Hanifah tersebut
dirubah menjadi:
استوى على العرش من غير أن يكون احتياج إليه
واستقر عليه
Maknanya berubah total menjadi: ”Dia Allah Istawâ atas arsy dari
tanpa membutuhkan kepada arsy, dan Dia bertempat di atasnya”.
Anda perhatikan dengan seksama cetakan kaum Wahabi berikut ini:
Padahal, sama sekali tidak bisa diterima oleh akal sehat,
mengatakan bahwa Allah tidak membutuhkan kepada arsy, namun pada saat yang sama
juga mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy.
Yang paling mengherankan ialah bahwa dalam buku cetakan mereka
ini, manuskrip risalah al-Imâm Abu Hanifah tersebut mereka sertakan pula.
Dengan demikian, baik disadari oleh mereka atau tanpa disadari, mereka sendiri
yang telah membuka ”kedok” dan “kejahatan besar” yang ada pada diri mereka,
karena bagi yang membaca buku ini akan melihat dengan sangat jelas kejahatan
tersebut.
Anda tidak perlu bertanya di mana amanat ilmiah mereka? Di mana
akal sehat mereka? Dan kenapa mereka melakukan ini? Karena sebenarnya itulah
tradisi mereka. Bahkan sebagian kaum Musyabbihah mengatakan bahwa berbohong itu
dihalalkan jika untuk tujuan mengajarkan akidah tasybîh mereka. A’ûdzu Billâh.
Inilah tradisi dan ajaran yang mereka warisi dari “Imam” mereka, “Syaikh
al-Islâm” mereka; yaitu Ahmad ibn Taimiyah, seorang yang seringkali ketika
mengungkapkan kesesatan-kesesatannya lalu ia akan mengatakan bahwa hal itu
semua memiliki dalil dan dasar dari atsar-atsar para ulama Salaf saleh
terdahulu, padahal sama sekali tidak ada. Misalkan ketika Ibn Taimiyah
menuliskan bahwa “Jenis alam ini Qadim; tidak memiliki permulaan”, atau ketika
menuliskan bahwa “Neraka akan punah”, atau menurutnya “Perjalanan (as-Safar)
untuk ziarah ke makam Rasulullah di Madinah adalah perjalanan maksiat”, atau
menurutnya “Allah memiliki bentuk dan ukuran”, serta berbagai kesesatan
lainnya, ia mengatakan bahwa keyakinan itu semua memiliki dasar dalam Islam,
atau ia berkata bahwa perkara itu semua memiliki atsar dari para ulama Salaf
saleh terdahulu, baik dari kalangan sahabat maupun dari kalangan tabi’in,
padahal itu semua adalah bohong besar. Kebiasaan Ibn Taimiyah ini sebagaimana
dinyatakan oleh muridnya sendiri; adz-Dzahabi dalam dua risalah yang ia
tulisnya sebagai nasehat atas Ibn Taimiyah, yang pertama an-Nashîhah
adz-Dzhabiyyah dan yang kedua Bayân Zaghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab.
Sesungguhnya memang seorang yang tidak memiliki senjata argumen,
ia akan berkata apapun untuk menguatkan keyakinan yang ia milikinya, termasuk
melakukan kebohongan-kebohongan kepada para ulama terkemuka. Inilah tradisi
ahli bid’ah, untuk menguatkan bid’ahnya, mereka akan berkata: al-Imam Malik
berkata demikian, atau al-Imam Abu Hanifah berkata demikian, dan seterusnya.
Padahal sama sekali perkataan mereka adalah kedustaan belaka.
Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan sebagai
berikut:
“Dan sesungguhnya Allah
itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu
bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun
yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat
benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda),
Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia
tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari
makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya”
(Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31).
Masih dalam al-Fiqh al-Akbar, Al-Imam Abu Hanifah juga menuliskan
sebagai berikut:
وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ
وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ
وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.“Dan kelak orang-orang
mukmin di surga nanti akan melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri.
Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan (tasybih), tanpa sifat-sifat benda
(Kayfiyyah), tanpa bentuk (kammiyyah), serta tanpa adanya jarak antara Allah
dan orang-orang mukmin tersebut (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di
dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan
atau-pun samping kiri)”” ( Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan syarah Syekh Mulla Ali
al-Qari, h. 136-137).
Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini sangat jelas dalam menetapkan
kesucian tauhid. Artinya, kelak orang-orang mukmin disurga akan langsung
melihat Allah dengan mata kepala mereka masing-masing. Orang-orang mukmin
tersebut di dalam surga, namun Allah bukan berarti di dalam surga. Allah tidak
boleh dikatakan bagi-Nya “di dalam” atau “di luar”. Dia bukan benda, Dia ada
tanpa tempat dan tanpa arah. Inilah yang dimaksud oleh Al-Imam Abu Hanifah
bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah tanpa tasybih, tanpa Kayfiyyah, dan
tanpa kammiyyah.
Pada bagian lain dari Syarh al-Fiqh al-Akbar, yang juga dikutip
dalam al-Washiyyah, al-Imam Abu Hanifah berkata:
ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق“Bertemu
dengan Allah bagi penduduk surga adalah kebenaran. Hal itu tanpa dengan
Kayfiyyah, dan tanpa tasybih, dan juga tanpa arah” (al-Fiqh al-Akbar dengan
Syarah Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 138).
Kemudian pada bagian lain dari al-Washiyyah, beliau menuliskan:
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ
اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ،
وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ
مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ
كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ
فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا
كَبِيْرًا.“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah
pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga
bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang
memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada
makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya
maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan
jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri.
Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy,
lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan
arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya,
berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci
dari pada itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam
kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h.
2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70).
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ
اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ
تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.“Aku
katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia
Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya
ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan
sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat
al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya
dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).
Pada bagian lain dalam kitab al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu
Hanifah menuliskan:
“Allah ada tanpa
permulaan (Azali, Qadim) dan tanpa tempat. Dia ada sebelum menciptakan apapun
dari makhluk-Nya. Dia ada sebelum ada tempat, Dia ada sebelum ada makhluk, Dia
ada sebelum ada segala sesuatu, dan Dialah pencipta segala sesuatu. Maka
barangsiapa berkata saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di
bumi?, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir seorang
yang berkata: Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di
bumi atau di langit” (al-Fiqh al-Absath, h. 57).
Wa Allah A’lam Bi ash Shawab,
Menyembunyikan dan Membuang Hadits Yang Tidak Mereka Sukai
Sengaja
mentahkik, mentakhrij dan meringkas kitab-kitab hadist yang jumlah halamannya
besar untuk menyembunyikan hadis-hadis yang tidak mereka sukai.
Untuk
membentengi dan memperkokoh ajaran wahabi yang rapuh secara dalil (naqli)
maupun secara ilmiah (aqli), maka apa pun akan mereka lakukan. Segala cara akan
mereka tempuh demi tercapainya tujuan “mulia” mereka itu, meskipunn dengan
cara-cara tidak terpuji. Diantaranya adalah Sengaja mentahkik, mentakhrij dan
meringkas kitab-kitab hadist yang jumlah halamanya besar untuk menyembunyikan
dan membuang hadis-hadis yang tidak mereka sukai.
Tahkik adalah upaya
penelitian secara mendalam terhadap sebuah manuskrip (makhthuthat) sebelum
mencetak dan menerbitkan manuskrip tersebut. Tahkik biasanya terjadi pada
naskah kuno yang masih ditulis tangan. Seorang Muhaqqiq (pentahkik), selain
menyusun naskah kuno tersebut menjadi rapi dan terbaca sehingga siap dicetak,
biasanya juga memberikan komentar-komentar terhadap naskah yang ditahkiknya
itu.
Sedangkan Takhrij
adalah upaya penelitian terhadap suatu hadits untuk menunjukkan atau menisbatkan
hadits tersebut pada sumber-sumbernya yang asli, yang mengeluarkannya secara
lengkap dengan sanadnya. Terkadang, kata takhrij juga dimaknai sebagai upaya
penelitian terhadap tingkat kesahihan sebuah hadits. Takhrij juga diartikan
sebagai upaya memisahkan antara hadits yang shahih, hasan, dho’if dan palsu
atau mungkar dalam suatu kitab kumpulan hadits oleh seorang Mufti atau
Muhaddits. Misalnya, kitab Sunan Ibnu Majah ditakhrij untuk mengeluarkan
hadits-haditsnya yang shahih saja, sehingga terbitlah kitab Shahih Ibnu Majah.
Sebagai contoh,
kasus hilangnya beberapa hadis dari kitab Shahih Muslim, Musnad Ahmad dan
lainnya, yang diringkas dengan alasan untuk memudahkan dalam membacanya.
Padahal, dalam buku-buku ringkasan dan takhrij tersebut, banyak hadis-hadis
penting yang mereka buang karena tidak sesuai dengan faham mereka. Kasus ini
diakui oleh tokoh-tokoh ulama timur tengah. Atas segala kejadian semacam itu,
tokoh ulama terkemuka Syiria, Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi berkata :
“….Tetapi amanat
Allah, ilmu dan mahluk-Nya, membuatku merasa terpanggil untuk mengingatkan umat
islam dari perbuatan-perbuatan aneh seperti ini, yang telah dimanipulasi oleh
orang-orang yang mengajak manusia untuk mengikuti mereka, bersandar kepada
ajaran agama mereka ,dan meriwayatkan hadis-hadis dari nabi .”
Oleh karena itu,
sebaiknya berhati-hatilah wahai umat islam dari buku-buku terbitan Salafi
Wahabi dan karya ulama mereka ,karena adanya bahaya laten dalam pemalsuan isi
dan kandungan buku, sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh al-Buthi tersebut.
Sejarah maupun data telah menunjukan bukti kuat bahwa mereka dikenal tidak
amanah dalam menyampaikan ilmu. Karenanya , telitilah dalam membeli dan
cermatilah dalam mencari buku bacaan, sehingga diri Anda, orang tua Anda,
anak-anak dan istri Anda, serta orang-orang Anda cintai tidak tergelincir dalam
kesehatan.
Mereka (wahabiyah)
juga membuang hadis-hadis yang tidak mereka sukai dalam buku yang mereka
terbitkan ,sehingga tidak sesuai dengan buku aslinya yang diterbitkan oleh
penerbit lain.
Hal ini sebagaimana yang terjadi pada kitab
kitab syarah muslim ,dimana mereka membuang hadis-hadis tentang sifat Allah .
Juga sebagaimana hilangnya 49 kalimat dalam kitab shahih bukhari ,dan raibnya
beberapa hadis tentang keutamaan Sayyidina Ali K.W dalam kitab Ash-Showa’iq
al- Muhriqoh fi ar-rod ‘ala ahli Bida’ wa zindiqoh.
Kasus ini juga
dialami oleh Imam al-Kautsari ketika dia mentahkik kitab al-Asma wa ash-Shifat
karya Imam Baihaqi (h. 356). Dia mengatakan bahwa hadits yang disebutkan oleh
Abu Bakr ash-Shamit al-Hanbali yang diriwayatkan dari Abdullah ibnu Ahmad ibnu
Hanbal dalam kitab as-Sunnah telah menghilang dari buku terbitan mereka.
Al-Buthi berkata, “Aku tidak menemukan hadits itu dalam buku yang mereka
terbitkan, sepertinya dewan editor sengaja menghapusnya sebagai bentuk
penyelewengan.”
Kaum wahabi lalu
memalsukan buku-buku ulama yang mereka pandang strategis bagi umat dengan cara
mencetak ulang buku tersebut. Namun hal itu dilakukan setelah tangan-tangan
terampil mereka mengedit, mengubah, dan memalsukannya sesuai keinginan,
pesanan, faham, dan cara berfikir mereka.
Sumber: “Mereka
Memalsukan Kitab-kitab Karya Ulama Klasik” oleh Syaikh Idahram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar