Minggu, 04 Januari 2015

QOIDAH FIQIH


PENDAHULUAN


Qaidah-Qaidah Fiqh yang terdapat dalam tulisan ini ada sebanyak 99 Qaidah yang diambil dari kitab Undang-Undang Muamalah (Hukum Ekonomi Islam) Turki Usmani. Kitab Undang-Undang Hukum Ekonomi Islam ini bernama Al-Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah.
Majalah al-Ahkam ini bisa juga disebut Kompilasi  Hukum Islam di bidang Ekonomi yang merupakan karya ulama di zaman Sultan Abdul Aziz Khan Al-Usmani, sebelum  Turki menjadi negara sekuler. Kompilasi ini  mulai disusun  tahun 1869 – 1876 M. dan ditetapkan berlakuknya sebagai hukum positif pada tangal 26 Sya’ban 1292 / 28 September 1876 M.
Sebelum terbentuknya Majalah al-Ahkam, persoalan hukum ekonomi Islam di Turki Usmani  menghadapi masalah keragaman keputusan dari lembaga peradilan perdatanya, karena setiap pengadilan mengambil bahan pertimbangan hukumnya dari berbagai macam fiqh yang sangat banyak, meskipun dari satu mazhab, yaitu mazhab Hanafi. Untuk lebih menjamin kepastian hukum dibentuklah sebuah committe yang diketuai oleh Ahmad Judat Basya.
Kompilasi Hukum Ekonomi Islam ini terdiri dari 16 Buku dengan 1851 pasal. Buku I merupakan pendahuluan yang berisi 100 pasal. Pasal 1 berisi definisi fikih Islam dan ruang lingkupnya, Pasal 2 s.d 100 berisi 99 qaidah hukum Islam.  
Qaidah-qaidah hukum ini dapat digunakan untuk menjawab dan memecahkan masalah-masalah hukum yang timbul dalam masyarakat, individu bahkan negara. Qaidah-qaidah ini  ada yang berasal dari  prinsip umum Al-Quran, teks Sunnah, maupun  atsar sahabat dan tabiin. Qaidah fiqh ini  juga  banyak berupa hasil rumusan para ulama  sebagai hasil pemikiran induktif dengan tetap mengukur akurasinya  berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. 
Tulisan ini akan megutarakan ke 99 qaidah fiqh tersebut, dengan harapan dapat diapresiasi sebagai  bahan  dalam  menyusun kompilasi qaidah dan hujjah syar’iyah di bidang ekonomi Islam di Indonesia.
Sebenarnya, masih banyak qaidah-qaidah fiqh penting yang belum masuk   dalam Al-Majallah Ahkam tersebut, karena itu tulisan ini juga akan melampirkan qaidah-qaidah  yang belum masuk tesebut, sehingga lebih memperkaya khazanah qaidah fiqh ekonomi Islam. Selain itu, perlu juga disosialisasikan teori dan qaidah fiqh baru tentang ekonomi Islam di bidang ekonomi makro. Selama ini (bahkan sepanjang sejarah hukum Islam), qaidah-qaidah fiqh yang ada  hampir semuanya merupakan qaidah fiqh ekonomi mikro, sedangkan qaidah fiqh ekonomi makro tidak begtu mendapat tempat, padahal qaidah ini juga amat  penting untuk dirumuskan, dipedomani dan diterapkan dalam kehidupan ekonomi.  Qaidah fiqh ekonomi makro tersebut juga didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah serta metode pemikiran induktif dari  perkembangan ekonomi dan keuangan modern.


KAIDAH-KAIDAH FIQH YANG DAPAT DITERAPKAN
DALAM HUKUM EKONOMI ISLAM

Pasal 2

الأمور بمقا صدها
Suatu perkara, ditentukan oleh maksud mengerjakannya;

Dengan kata lain, dampak dari suatu transaksi, harus sesuai dengan tujuan dari transaksi tersebut.

 


Pasal 3


Hasil akhir dari suatu aqad harus sesuai dengan maksud dan tujuannya, dan bukan dengan kata-kata atau kalimat. Konsekuensinya, suatu aqad penjualan yang bergantung pada hak untuk membelinya kembali, mempunyai kekuatan sebagai barang gadaian.

Pasal 4


Suatu keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.

 

Pasal 5



Sebagai prinsip dasar, sesuatu itu harus tetap sesuai dengan hukum asalnya.

 

Pasal 6

Sesuatu yang sudah ada sejak dulu harus dibiarkan sebagaimana adanya.

 

Pasal 7

Kerugian tidak dapat muncul dari suatu masa yang tak dapat diingat lagi.

("Injury cannot exist from the time immemorial.")


 




Pasal 8

Lepas dari pertanggungjawaban merupakan prinsip dasar.

 Karena itu, jika seseorang merusak harta orang lain, dan kemudian timbul persengketaan tentang jumlah uangnya, maka pernyataan dari orang yang telah menyebabkan kerusakan itu harus diperiksa, dan beban biaya pembuktiannya yang berlebih menjadi tanggung jawab orang yang mempunyai barang tersebut.

Pasal 9



“Ketiadaan” merupakan prinsip dasar yang diterapkan dalam semua hak yang mungkin timbul kemudian. Contoh : Dalam kemitraan antara pemodal dan yang menggunakan modal, suatu perselisihan dapat terjadi mengenai apakah telah ada keuntungan atau tidak. Keterangan dari orang yang menggunakan modal harus diperiksa dan orang yangmemilki modal harus membuktika bhwa pada kenyataannya, keuntungan telah ada; sebab prinsip dasarnya adalah “tidak ada” keuntungan.

Pasal 10



"Judgment shall be given in respect to any matter, which has been proof at any particular time, unless the contrary is proved"

(“Putusan pengadilan harus dikeluarkan untuk setiap masalah sesuai dengan hukum yang telah ada pada waktu tertentu, kecuali jika pembuktian menyatakan sebaliknya”).

Konsekuensinya, jika pada suatu ketika terbukti bahwa suatu barang tertentu milki orang tertentu dalam bentuk kepemilikan yang sempurna; maka kepemilkian tersebut harus dipegang teguh untuk tetap berlaku sampai adanya suatu bukti yang menyatakan tidak berlakunya kepemilikan tersebut.








Pasal 11


Suatu prinsip dasar menyatakan : bahawa setiap peristiwa baru, harus diperhatikan sebagai peristiwa pada saat yang lebih dekat ke masa sekarang. Contoh : Jika terjadi persengketaan tentang penyebab dari beberapa kejadian baru dan waktu kejadiannya ada, maka peristiwa tersebut harus dianggap terjadi pada waktu yang terdekat dengan waktu sekarang, kecuali apabila terbukti hal itu berhubungan dengan periode masa silam.

Pasal 12


Prinsip dasar: Kata-kata harus diartikan sesuai kata aslinya bukan kata kiasannya.

Pasal 13


Tidak perlu ada perhatian terhadap bukti yang bertentangan dengan fakta yang sudah jelas.

 

 

Pasal 14


Apabila teks (nash) sudah jelas, maka tidak perlu ada penafsiran.

Pasal 15


Suatu materi yang terbukti bertentangan dengan analogi yang sah, tidak dapat dianalogikan kepadanya materi yang lain.

Pasal 16


Ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh Ijtihad lain.

Pasal 17


Kesulitan melahirkan kemudahan,

yakni kesukaran adalah penyebab keringanan dan pada saat adanya kesulitan, pertimbangan harus diberikan. Banyak sekali masalah dalam hukum Islam, seperti masalah pinjaman, transfer utang dan pengampuan, berasal dari prinsip ini, dan kemudahan serta kelenturan kebijakan yang diperlihatkan para ahli hukum Islam dalam mengemukakan aturan-aturannya adalah didasarkan pada prinsip (kaidah) ini.

Pasal 18

Keluasan hukum harus ada pada saat menghadapi kesulitan. Misalnya dalam menghadapi berbagai kesukaran, kelusan dan kelenturan hukum harus diperlihatkan.

Pasal 19


Tidak boleh membuat kemudharatan dan kemudharatan itu tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan.


Pasal 20


Kemudharatan itu harus dihilangkan

Pasal 21

Kemudharatan-kemudharatan itu membolehkan segala hal-hal yang dilarang.

Pasal 22

Apa yang dibolehkan karena kemudharatan harus dipertimbangkan oleh besarnya kemudharatan-kemudharatan tersebut.

Pasal 23


Sesuatu yang diperbolehkan oleh adanya pemaafaan/udzur, akan menjadi tidak boleh lagi bila pemaafan/udzur itu sudah tidak ada lagi.




Pasal 24


Jika suatu penghalang hukum dihilangkan, sesuatu yang berkaitan dengan hukum larangan tersebut harus kembali paad keadaan sebelumnya, artinya sah secara hukum.

Pasal 25


Suatu kerugian/kemudharatan tidak dapat dihilangkan oleh kerugian/kemudharatan yang sama.

Pasal 26


Kerugian individu bisa ditolelir untuk menghindarkan kerugian masyarakat. Larangan praktik bagi seorang dokter yang tidak kompeten, berasal dari prinsip ini.

Pasal 27


Kerugian besar dihilangkan oleh kerugian yang lebih kecil.

Pasal 28


Jika ada dua kemudharatan, maka yang lebih besar dihindari dengan melaksanakan kemudharatan yang lebih kecil.

Pasal 29


Kemudharatan yang lebih kecil dari dua jenis kemudharatan, itulah yang harus dipilih.

Pasal 30


Menolak suatu kemudharatan lebih didahulukan daripada meraih manfaat (keuntungan).

Pasal 31
Kemudharatan haris dihindari, sedapat mungkin.

Pasal 32
Berbagai kebutuhan baik yang bersifat pribadi maupun umum, menempati tempat darurat. Keabsahan kemudharatan suatu subjek jual-beli terhadap hak untuk membeli kembali termasuk dalam kaidah ini. Suatu saat penduduk Bokhara terjerumus ke dalam hutang yang besar, operasi penanggulangannya menggunakan prosedur ini agar dapat menutupi keadaan darurat tersebut.

Pasal 33
Keadaan terpaksa tidak dapat menyebabkan hilanya hak orang lain. Konsekuensinya, jika seseorang yang lapar memakan roti milki orang lain, maka orang tersebut selanjutnya tetap harus membayar seharga roti itu.

Pasal 34
Segala sesuatu yang tidak boleh diambil juga tidak boleh diberikan.

Pasal 35
Apa yang dilarang melakukannya dilarang pula menyuruh melakukannya.


Pasal 36
Adat istiadat (yang baik) dapat ditetapkan sebagai hukum. Adat kebiasaan baik yang bersifat umum maupun perseorangan dapat digunakan sebagai pertimbangan putusan pengadilan (lihat Pasal 230, 244, 575, 576, 569).

Pasal 37
Kebiasaan umum yang baik menjadi alasan hukum. Yakni setiap perbuatan harus disesuaikan dengan kebiasaan tersebut.

Pasal 38
Segala sesuatu yang dianggap tidak mungkin oleh adat kebiasaan, maka harus dianggap tidak mungkin dalam kenyataan.



Pasal 39
Adalah merupakan sesuatu yang telah diterima, bahwa ketetapan hukum berubah-ubah sesuai dengan perubahan waktu.

Pasal 40
Apa yang secara eksplisit dinyatakan, ditinggalkan dengan adanya adat kebiasaan. Contoh: Apabila disuruh membeli makanan untuk perayaan, maka yang dibeli adalah yang biasa dimakan oleh acara tersebut bukan semua makanan.

Pasal 41
Suatu perbuatan hukum dapat didasarkan atas kebiasaan yang terjadi secara terus-menerus atau bersifat umum

Pasal 42
Suatu perbuatan hukum dapat didasarkan pada apa yang biasa terjadi, dan bukan pada apa yang jarang terjadi.

Pasal 43
Sesuatu yang dianggap oleh adat sebagai suatu keharusan, maka ia menjadi suatu kewajiban.sebagaimana sesuatu yang disyaratkan jelas menjadi syarat.

Pasal 44
Sesuatu yang sudah dikenal baik oleh para pedagang, maka ia dianggap sebagai kewajiban yang disepakati di antara mereka.

Pasal 45
Sesuatu yang ditetapkan oleh kebiasaan (adat), sama seperti sesuatu yang ditetapkan oleh hukum (lihat pasal 1499).

Pasal 46
Jika terjadi pertentangan antara larangan dan perintah, maka dahulukan yang larangan. Sebagai konsekuensinya, seorang tidak boleh menjual barang pada orang lain, jika barang tersebut telah diserahkan kepada pemberi kredit sebagai jaminan.

Pasal 47
Suatu barang sertaan yang secara nyata berhubungan dengan suatu objek maka hukumnya sama dengan objek tersebut. Dengan demikian jika seekor binatang yang sedang mengandung dijual kepada orang lain, maka bayinya yang ada dalam perunya juga ikut dijual. Menjual sebidang tanah termasuk di dalamnya pohon yag ada di tanah itu.

Pasal 48
Suatu barang sertaan suatu objek tidak dapat diperlakukan terpisah dari objek tersebut. Contoh: Anak binatang yang masih ada di dalam perut induknya tidak dapat dijual secara terpisah dari induknya.

Pasal 49
Barangsiapa yang memiliki suatu barang dengan kepemilikan yang sempurna juga merupakan pemilik dari sesuatu yang berkaitan dengan barang tersebut.
Contoh: Seseorang yang membeli sebuah rumah juga sebagai pemilik jalan yang menuju ke rumah tersebut.

Pasal 50
Apabila gugur pokok, maka gugur pula cabangnya. Contohnya apabila creditur menghapuskan utang debitur, maka hapus pula penjaminnya, karena dalam utang-piutang, debitur itu pokok, sedang penjamin adalah cabang.



Pasal 51

Sesuatu hak yang telah digugurkan, tidak bisa dikembalikan (lihat pasal 281, 335).

Pasal 52
Jika sesuatu (barang) menjadi (Batal) maka suatu yang ada di dalamnya juga menjadi batal.

Pasal 53
Apabila barang yang asal sudah tidak ada, maka bisa diganti dengan nilainya.
Contoh: Apabila barang yang dirampas sudah tidak ada di tangan perampas, maka si perampas harus mengganti dengan harga tersebut.

Pasal 54
Sesuatu yang dilarang pada asalnya, bisa dibolehkan jika menjadi pelengkap.

Contoh: Seorang pembeli tidak dibolehkan meminta untuk membelikan benda yang sudah terjual. Tetapi bila penjual itu memberi pembeli sebuah karung untuk menakar dan membawa bendanya, maka pembeli dapat menerima benda itu sebagai barang pelengkap (alat).

Pasal 55
Sesuatu yang dilarang pada awalnya bisa diperbolehkan setelah beberapa perioda kemudian.
Contoh : Pemisahan harta milik bersama yang tidak dapat dipisahkan dan belum dibagikan melalui pemberian adalah tidak boleh, tetapi jika seorang pemilik barang milik bersama yang tidak dapat dipisahkan itu telah memberikan pula sebagai hibah maka harta itu dapat menjadi harta si penerima hibah.

Pasal 56
Melanjutkan lebih mudah daripada memulai

Pasal 57
Tidak sempurna suatu akad tabarru’ kecuali ada penyerahan

Dengan demikian, suatu tabarru’ (kebaikan) menjadi sempurna dan mengikat sejak penyerahannya dilaksanakan.
Contoh: Seseorang menghibahkan sesuatu hibah kepada orang lain. Hadiah itu belum mengikat sampai penyerahannya dilaksanakan. (Tidak sempurna suatu aqad tabaru (kebaikan) kecuali dengan serah-terima)

Pasal 58
Tindakan hukum terhadap orang yang ada di dalam perlindungannya/pengawasannya harus berdasar kemaslahatan (lihat pasal 1540, 685)




Pasal 59
Perwalian pribadi lebih kuat daripada perwalian umum.

Contoh: Perwalian yang dilaksanakan oleh orang yang ditunjuk suatu lembaga keagamaan lebih kuat daripada perwalian ditunjuk oleh pengadilan. (Kekuasaan yang khusus lebih kuat daripada kekuasaan yang umum).

Pasal 60
Mengamalkan/melaksanakan suatu kalimat lebih utama daripada menyia-nyiakannya.

Pasal 61
Apabila arti tersurat tidak dapat diterapkan, maka dapat digunakan makna yang tersirat.

Pasal 62
Jika suatu kalimat tidak mempunyai arti apa-apa, abaikanlah semuanya. Yakni, jika suatu kalimat tidak dapat dipahami baik secara hakiki/tersurat maupun secara majazi/tersirat, maka kata itu bisa diabaikan.

Pasal 63
Menyebutkan bagian dari suatu barang yang tidak dapat dibagi-bagi, berarti menyebutkan terhadap keseluruhannya.

Pasal 64
Lafazh yang mutlak diterapkan dalam kemutlakannya, sepanjang tidak ada bukti yang membatasi makna tersebut baik dari nash hukum maupun hasil pemahaman yang mendalam (lihat Pasal 1494, 1459, 1482)

Pasal 65
Suatu penjelasan terhadap suatu barang yang ada, tidak mempunyai pengaruh apa-apa, dan hal yang  sebaliknya bila barang itu tidak ada, penjelasan menjadi berpengaruh (lihat Pasal 310 dan 107).

Contoh: Seorang penjual yang sedang menjual kuda warna hitam yang ada di tempat jual-beli itu, dalam penjelasannya ia mengatakan menjual kuda coklat seharga sekian rupiah, penjualannya itu dianggap benar atau (sah) dan kata coklat tidak berakibat apa-apa. Tetapi, bila ia menjual kuda hitam yang tidak ada di tempat itu, dan ia mengatakan bahwa kuda itu coklat, maka penjualannya itu tidak sah, tetapi pernyataannya diterima.



Pasal 66
Suatu pertanyaan telah terulangi di dalam jawaban.

Artinya, ketika pertanyaan itu di jawab orang yang menjawab pertanyaan dianggap telah mengulangi pertanyaan.
Contoh:Seorang hakim bertanya kepada tergugat : “Apakah istrimu telah kau talaq?” Apabila dijawab dengan “Ya”, maka bagi istri tergugat telah berlaku hukum sebagai wanita yang telah ditalaq.

Pasal 67
Tidak ada kepastian hukum yang dapat ditetapkan kepada seseorang yang diam, tetapi sikap diam sama dengan pernyataan apabila yang diam itu dituntut untu bicara.

Artinya, tidak boleh dikatakan bahwa seseorang yang bersikap diam dianggap telah membuat pernyataan ini dan itu. Tetapi apabila seseorang itu diam, padahal ia diharuskan membuat sesuatu pernyataan, maka sikap diamnya itu dapat dianggap sebagai pengakuan dan pernyataannya (lihat Pasal 1659, 843).


Pasal 68
Petunjuk dari sesuatu yang samar (kabur), dapat dijadikan bukti.

Artinya, masalah yang samar, yang sukar dicari kebenarannya harus diputuskan dengan bukti yang jelas dengan petunjuk/tanda-tanda (lihat pasal 183).

Pasal 69
Tulisan sama kedudukannya dengan perkataan (lihat pasal 1610, 173, 436).

Pasal 70
Isyarat yang sudah diketahui umum dari seorang yang bisu, sama kedudukannya dengan kata-kata yang diucapkan.

Pasal 71
Kata-kata dari seorang penterjemah diterima tanpa pengecualian.

Pasal 72
Tidak bisa diterima bagi suatu yang samar-samar yang sudah tercemar oleh kekeliruan yang jelas.

Pasal 73
Suatu kemungkinan, meskipun didasarkan pada suatu data, bukan merupakan suatu bukti.

Contoh: Jika seseorang yang sakit keras (hampir meninggal) mengaku bahwa ia berhutang sejumlah uang kepada salah seorang ahli warisnya, maka pengakuan tersebut tidak dapat dijadikan bukti sampai dibenarkan oleh para ahli waris yang lain, karena da kemungkinan berdasarkan informasi dari seseorang yang sedang sakit keras. Ada ahli waris yang ingin mengelabui ahli waris lain. Jika pengakuan itu dibuat tatkala ia dalam keadaan sehat, maka pengakuannya dianggap sah. Dugaan yang ada dalam kasus ini hanya perkiraan yang ngambang, dan konsekuensinya tidak akan ada bantahan terhadap keabsahan dari pengakuan tersebut.

Pasal 74
Suatu dugaan tidak mempunyai arti apa-apa.


Pasal 75
Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan bukti yang sah, hukumya sama dengan sesuatu yang ditetapkan berdasarkan saksi.

Pasal 76
Bukti wajib diberikan oleh orang yang menggugat dan sumpah wajib dilakukan oleh orang yang mengingkari (lihat Pasal 1817, 1818, 1819).

Pasal 77
Tujuan suatu pembuktian adalah untuk membuktikan apa yang tidak cocok dengan kenyataannya; tujuan suatu sumpah adalah untuk meyakinkan kebenaran suatu pernyataan/pengakuan.

Pasal 78
Kesaksian adalah bukti yang berdampak pada orang ketiga; pengakuan adalah bukti yang mempengaruhi hanya bagi yang membuat pengakuan saja (lihat Pasal 1572).

Pasal 79
Seseorang terikat oleh pengakuannya (lihat Pasal 1632, 1581, 1127, 1654, 1575, 1577).

Pasal 80
Tidak bisa dijadikan bukti keterangan yang bertentangan; tetapi hal ini tidak menyebabkan putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada orang yang mengemukakan penyangkalan itu menjadi tidak sah.

Contoh: Para saksi menyangkal bukti-bukti yang telah berikan. Fakta tertentu belum tentu bukti tetapi jika sidang pengadilan telah memutuskan sesuatu berdasarkan kesaksian yang pertama, maka keputusan itu tidak bisa diabaikan, dan para saksi harus menerima keputusan yang telah dijatuhkan kepada lawannya (lihat pasal 1729).

Pasal 81
Kesalahan dalam menentukan tuntutan primer; tidak berarti kesalahan untuk menetapkan tuntutan subsider:

Contoh : Seseorang mengatakan bahwa A mempunyai utang sejumlah uang kepada B dan ia mempunyai jaminan dari A. Orang itu diwajibkan membayar jumlah uang tersebut meskipun ia (A) menyangkal utangnya, sementara B meminta pembayaran.

Pasal 82
Sesuatu yang digantungkan kepada suatu syarat, wajib adanya ketika adanya syarat itu

Contohnya : Di dalam pesanan disyaratkan, apabila barang belum jadi dalam waktu sepuluh hari, maka aqad pesanan batal. Maka sebelum sampai sepuluh hari si pemesan tidak dapat menuntut pembatalan aqad.

Pasal 83
Suatu persyaratan harus dipenuhi sedapat mungkin (lihat Pasal 186, 187, 188, 287, 468, 474, 884, 1166, 1420, 189, 784, 777, 813, 1071, 1402).

Pasal 84
Suatu janji yang didasarkan pada suatu syarat tidak dapat dibatalkan jika syarat itu sudah terpenuhi.

Contoh: Seseorang meminta A untuk menjualkan barang tertentu kepada B, dan ia juga berkata kepada A bahwa ia akan membayar A meskipun B tidak jadi membeli barang tersebut. Dan pada kenyataanya B memang tidak membeli barang tersebut. Maka orang yang telah berjanji itu diwajibkan membayar sejumlah uang kepada A.

Pasal 85
Manfa’at merupakan faktor pengganti bagi kerugian yang berkaitan dengan suatu benda; artinya, apabila suatu barang rusak, maka pemiliknya menderita kerugian dan pada saat yang sama diapun harus mendapatkan manfaat.


Contoh: Seekor binatang dikembalikan (oleh pembelinya) dengan alasan cacat. Penjual tidak boleh meminta bayaran atan penggunaan binatang itu sebab penggunaan binatang tersebut telah menjadi hak pembeli (lihat pasal 891, 903).

Pasal 86
Pemberian upah dan tanggungjawab untuk mengganti kerugian suatu barang tidak berjalan bersamaan (lihat Pasal 416, 550)

Pasal 87
Resiko adalah yang menyertai manfaat. Artinya, seseorang yang memanfaatakan sesuatu, harus memberikan konpensasi kepada orang yang telah memberi manfaat tersebut (lihat Pasal 292, 1308).


Pasal 88
Pengorbanan sesuai dengan imbalan dan imbalan sesuai dengan pengorbanan.


Pasal 89

 "The responsibility for an act falls upon the author thereof; it does not fall upon the person ordering such act, provided that such person does not compel the commission thereof."

Tanggungjawab dari suatu perbuatan berada pada pelakunya, tidak menjadi tanggung jawab orang yang memerintahkan untuk melakukan perbuatan tersebut dengan catatan bahwa orang tersebut tidak memaksakan perintahnya (lihat Pasal 295, 960).

Pasal 90
Apabila berkumpul pelaku langsung dan pelaku tidak langsung (sebab), maka pertanggungjawaban hukum dibebankan kepada pelaku langsung.

Contoh: A menggali lobang di jalan umum dan B telah menjerumuskan seekor binatang kepunyaan C kedalanya hingga mati; maka B bertanggungjawab atas kejadian itu, sedangkan orang yang menggali sumur (A) tidak harus mempertanggungjawabkan kerugian apapun.

Pasal 91
Suatu perbuatan yang dibenarkan oleh hukum syara’. Tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi.

Contoh: Seekor binatang kepunyaan A jatuh ke dalam sumur yang telah digali oleh B di tanah miliknya dengan kepemilikan penuh dan binatang itu mati. Dalam hal ini tidak ada tuntutan kompensasi atas B (lihat Pasal 605, 799, 796, 822, 824, 1075).

Pasal 92
Seseorang yang melakukan suatu perbuatan (pelaku langsung), meskipun tidak sengaja. Harus bertanggungjawab untuk mengganti kerugian yang diakibatkan perbuatannya (lihat Pasal 912, 913).

Pasal 94
Tiada pertanggungjawaban berkaitan dengan perbuatan atau kerusakan yang dilakukan oleh binatang yang menjadi miliknya, kecuasi dengan sengaja disuruhnya hewan itu merusak sesuatu  (lihat Pasal 929).

"No liability attaches in connection with injury caused by animals of their own accord."



Pasal 95


Setiap perintah untuk melakukan transaksi tentang harta orang lain yang dilakukan seperti pada harta miliknya sendiri adalah batal demi hukum.

Pasal 96
Tiada seorang pun boleh melakukan tindakan hukum atas harta orang lain dengan perlakuan seperti pada harta miliknya sendiri, tanpa ada izin dari orang yang bersangkutan (lihat Pasal 219, 365, 446, 857, 1546, 1075, 1078, 1079).

Pasal 97
Tak seorang pun boleh mengambil harta orang lain tanpa alasan hukum yang sah (lihat Pasal 891, 899, 369).

Pasal 98
Setiap perubahan yang menjadi penyebab dari kepemilikan barang yang sempurna adalah sama dengan perubahan pada barang itu sendiri (lihat Pasal 869, 255).

Pasal 99
Seseorang yang mempercepat penyelesaian suatu urusan sebelum waktunya, ia dihukum, karena ia tidak mematuhi proses yang seharusnya.

Pasal 100

Jika seseorang mencoba menyangkal suatu perbuatan yang dilakukannya sendiri, maka penyangkalan itu tidak perlu ditanggapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar