PENDAHULUAN
Qaidah-Qaidah
Fiqh yang terdapat dalam tulisan ini ada sebanyak 99 Qaidah yang diambil dari
kitab Undang-Undang Muamalah (Hukum Ekonomi Islam) Turki Usmani. Kitab
Undang-Undang Hukum Ekonomi Islam ini bernama Al-Majallah al-Ahkam
al-‘Adliyah.
Majalah
al-Ahkam ini bisa juga disebut Kompilasi Hukum Islam di bidang Ekonomi yang merupakan
karya ulama di zaman Sultan Abdul Aziz Khan Al-Usmani, sebelum Turki menjadi negara sekuler. Kompilasi
ini mulai disusun tahun 1869 – 1876 M. dan ditetapkan
berlakuknya sebagai hukum positif pada tangal 26 Sya’ban 1292 / 28 September 1876 M.
Sebelum
terbentuknya Majalah al-Ahkam, persoalan hukum ekonomi Islam di Turki
Usmani menghadapi masalah keragaman
keputusan dari lembaga peradilan perdatanya, karena setiap pengadilan mengambil
bahan pertimbangan hukumnya dari berbagai macam fiqh yang sangat banyak,
meskipun dari satu mazhab, yaitu mazhab Hanafi. Untuk lebih menjamin kepastian
hukum dibentuklah sebuah committe yang diketuai oleh Ahmad Judat Basya.
Kompilasi
Hukum Ekonomi Islam ini terdiri dari 16 Buku dengan 1851 pasal. Buku I
merupakan pendahuluan yang berisi 100 pasal. Pasal 1 berisi definisi fikih
Islam dan ruang lingkupnya, Pasal 2 s.d 100 berisi 99 qaidah hukum Islam.
Qaidah-qaidah
hukum ini dapat digunakan untuk menjawab dan memecahkan masalah-masalah hukum
yang timbul dalam masyarakat, individu bahkan negara. Qaidah-qaidah ini ada yang berasal dari prinsip umum Al-Quran, teks Sunnah,
maupun atsar sahabat dan tabiin. Qaidah
fiqh ini juga banyak berupa hasil rumusan para ulama sebagai hasil pemikiran induktif dengan tetap
mengukur akurasinya berdasarkan Al-Quran
dan Sunnah.
Tulisan
ini akan megutarakan ke 99 qaidah fiqh tersebut, dengan harapan dapat
diapresiasi sebagai bahan dalam
menyusun kompilasi qaidah dan hujjah syar’iyah di bidang ekonomi Islam
di Indonesia.
Sebenarnya,
masih banyak qaidah-qaidah fiqh penting yang belum masuk dalam Al-Majallah Ahkam tersebut,
karena itu tulisan ini juga akan melampirkan qaidah-qaidah yang belum masuk tesebut, sehingga lebih
memperkaya khazanah qaidah fiqh ekonomi Islam. Selain itu, perlu juga
disosialisasikan teori dan qaidah fiqh baru tentang ekonomi Islam di bidang
ekonomi makro. Selama ini (bahkan sepanjang sejarah hukum Islam), qaidah-qaidah
fiqh yang ada hampir semuanya merupakan
qaidah fiqh ekonomi mikro, sedangkan qaidah fiqh ekonomi makro tidak begtu
mendapat tempat, padahal qaidah ini juga amat
penting untuk dirumuskan, dipedomani dan diterapkan dalam kehidupan
ekonomi. Qaidah fiqh ekonomi makro
tersebut juga didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah serta metode pemikiran
induktif dari perkembangan ekonomi dan
keuangan modern.
KAIDAH-KAIDAH FIQH YANG DAPAT DITERAPKAN
DALAM HUKUM EKONOMI ISLAM
Pasal 2
الأمور
بمقا صدها
Suatu
perkara, ditentukan oleh maksud mengerjakannya;
Dengan kata lain, dampak dari suatu transaksi, harus
sesuai dengan tujuan dari transaksi tersebut.
Pasal 3

Hasil akhir dari suatu aqad harus sesuai dengan maksud dan
tujuannya, dan bukan dengan kata-kata atau kalimat. Konsekuensinya, suatu aqad
penjualan yang bergantung pada hak untuk membelinya kembali, mempunyai kekuatan
sebagai barang gadaian.
Pasal 4

Suatu keyakinan tidak
bisa dihilangkan oleh keraguan.
Pasal 5

Sebagai prinsip
dasar, sesuatu itu harus tetap sesuai dengan hukum asalnya.
Pasal 6

Sesuatu yang sudah
ada sejak dulu harus dibiarkan sebagaimana adanya.
Pasal 7

Kerugian tidak dapat
muncul dari suatu masa yang tak dapat diingat lagi.
("Injury cannot exist from the time immemorial.")
Pasal 8

Lepas dari
pertanggungjawaban merupakan prinsip dasar.
Karena itu, jika seseorang merusak harta orang
lain, dan kemudian timbul persengketaan tentang jumlah uangnya, maka pernyataan
dari orang yang telah menyebabkan kerusakan itu harus diperiksa, dan beban
biaya pembuktiannya yang berlebih menjadi tanggung jawab orang yang mempunyai
barang tersebut.
Pasal 9

“Ketiadaan” merupakan prinsip dasar yang diterapkan dalam
semua hak yang mungkin timbul kemudian. Contoh : Dalam kemitraan antara pemodal
dan yang menggunakan modal, suatu perselisihan dapat terjadi mengenai apakah
telah ada keuntungan atau tidak. Keterangan dari orang yang menggunakan modal
harus diperiksa dan orang yangmemilki modal harus membuktika bhwa pada
kenyataannya, keuntungan telah ada; sebab prinsip dasarnya adalah “tidak ada”
keuntungan.
Pasal 10

"Judgment shall be given in respect to any matter, which has
been proof at any particular time, unless the contrary is proved"
(“Putusan pengadilan harus dikeluarkan untuk setiap
masalah sesuai dengan hukum yang telah ada pada waktu tertentu, kecuali jika
pembuktian menyatakan sebaliknya”).
Konsekuensinya, jika pada suatu ketika terbukti bahwa
suatu barang tertentu milki orang tertentu dalam bentuk kepemilikan yang
sempurna; maka kepemilkian tersebut harus dipegang teguh untuk tetap berlaku
sampai adanya suatu bukti yang menyatakan tidak berlakunya kepemilikan
tersebut.
Pasal 11

Suatu prinsip dasar menyatakan : bahawa setiap peristiwa
baru, harus diperhatikan sebagai peristiwa pada saat yang lebih dekat ke masa
sekarang. Contoh : Jika terjadi persengketaan tentang penyebab dari beberapa
kejadian baru dan waktu kejadiannya ada, maka peristiwa tersebut harus dianggap
terjadi pada waktu yang terdekat dengan waktu sekarang, kecuali apabila
terbukti hal itu berhubungan dengan periode masa silam.
Pasal 12

Prinsip dasar: Kata-kata
harus diartikan sesuai kata aslinya bukan kata kiasannya.
Pasal 13

Tidak perlu ada perhatian terhadap bukti yang
bertentangan dengan fakta yang sudah jelas.
Pasal 14

Apabila teks (nash) sudah jelas, maka tidak perlu ada
penafsiran.
Pasal 15

Suatu materi yang terbukti bertentangan dengan analogi
yang sah, tidak dapat dianalogikan kepadanya materi yang lain.
Pasal 16

Ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh Ijtihad lain.
Pasal 17

Kesulitan melahirkan
kemudahan,
yakni kesukaran adalah penyebab
keringanan dan pada saat adanya kesulitan, pertimbangan harus diberikan. Banyak
sekali masalah dalam hukum Islam, seperti masalah pinjaman, transfer utang dan
pengampuan, berasal dari prinsip ini, dan kemudahan serta kelenturan kebijakan
yang diperlihatkan para ahli hukum Islam dalam mengemukakan aturan-aturannya
adalah didasarkan pada prinsip (kaidah) ini.
Pasal 18

Keluasan hukum harus ada pada saat menghadapi kesulitan.
Misalnya dalam menghadapi berbagai kesukaran, kelusan dan kelenturan hukum
harus diperlihatkan.
Pasal 19

Tidak boleh membuat kemudharatan dan kemudharatan itu
tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan.
Pasal 20

Kemudharatan itu
harus dihilangkan
Pasal 21

Kemudharatan-kemudharatan itu membolehkan segala hal-hal
yang dilarang.
Pasal 22

Apa yang dibolehkan karena kemudharatan harus
dipertimbangkan oleh besarnya kemudharatan-kemudharatan tersebut.
Pasal 23

Sesuatu yang diperbolehkan oleh adanya pemaafaan/udzur,
akan menjadi tidak boleh lagi bila pemaafan/udzur itu sudah tidak ada lagi.
Pasal 24

Jika suatu penghalang hukum dihilangkan, sesuatu yang
berkaitan dengan hukum larangan tersebut harus kembali paad keadaan sebelumnya,
artinya sah secara hukum.
Pasal 25

Suatu kerugian/kemudharatan tidak dapat dihilangkan oleh
kerugian/kemudharatan yang sama.
Pasal 26

Kerugian individu bisa ditolelir untuk menghindarkan
kerugian masyarakat. Larangan praktik bagi seorang dokter yang tidak kompeten,
berasal dari prinsip ini.
Pasal 27

Kerugian besar dihilangkan oleh kerugian yang lebih
kecil.
Pasal 28

Jika ada dua kemudharatan, maka yang lebih besar dihindari
dengan melaksanakan kemudharatan yang lebih kecil.
Pasal 29

Kemudharatan yang lebih kecil dari dua jenis kemudharatan,
itulah yang harus dipilih.
Pasal 30

Menolak suatu kemudharatan
lebih didahulukan daripada meraih manfaat (keuntungan).
Pasal 31

Kemudharatan haris dihindari, sedapat mungkin.
Pasal 32

Berbagai kebutuhan baik yang
bersifat pribadi maupun umum, menempati tempat darurat. Keabsahan kemudharatan
suatu subjek jual-beli terhadap hak untuk membeli kembali termasuk dalam kaidah
ini. Suatu saat penduduk Bokhara terjerumus ke
dalam hutang yang besar, operasi penanggulangannya menggunakan prosedur ini
agar dapat menutupi keadaan darurat tersebut.
Pasal 33

Keadaan terpaksa tidak dapat
menyebabkan hilanya hak orang lain. Konsekuensinya, jika seseorang yang lapar
memakan roti milki orang lain, maka orang tersebut selanjutnya tetap harus
membayar seharga roti itu.
Pasal 34

Segala sesuatu yang tidak boleh diambil juga tidak boleh
diberikan.
Pasal 35

Apa yang dilarang melakukannya dilarang pula menyuruh
melakukannya.
Pasal 36

Adat istiadat (yang baik)
dapat ditetapkan sebagai hukum. Adat kebiasaan baik yang bersifat umum maupun
perseorangan dapat digunakan sebagai pertimbangan putusan pengadilan (lihat
Pasal 230, 244, 575, 576, 569).
Pasal 37

Kebiasaan umum yang baik
menjadi alasan hukum. Yakni setiap perbuatan harus disesuaikan dengan kebiasaan
tersebut.
Pasal 38

Segala sesuatu yang dianggap
tidak mungkin oleh adat kebiasaan, maka harus dianggap tidak mungkin dalam
kenyataan.
Pasal 39

Adalah merupakan sesuatu yang
telah diterima, bahwa ketetapan hukum berubah-ubah sesuai dengan perubahan
waktu.
Pasal 40

Apa yang secara eksplisit
dinyatakan, ditinggalkan dengan adanya adat kebiasaan. Contoh: Apabila disuruh
membeli makanan untuk perayaan, maka yang dibeli adalah yang biasa dimakan oleh
acara tersebut bukan semua makanan.
Pasal 41

Suatu perbuatan hukum dapat
didasarkan atas kebiasaan yang terjadi secara terus-menerus atau bersifat umum
Pasal 42

Suatu perbuatan hukum dapat
didasarkan pada apa yang biasa terjadi, dan bukan pada apa yang jarang terjadi.
Pasal 43

Sesuatu yang dianggap oleh
adat sebagai suatu keharusan, maka ia menjadi suatu kewajiban.sebagaimana
sesuatu yang disyaratkan jelas menjadi syarat.
Pasal 44

Sesuatu yang sudah dikenal
baik oleh para pedagang, maka ia dianggap sebagai kewajiban yang disepakati di
antara mereka.
Pasal 45

Sesuatu yang ditetapkan oleh
kebiasaan (adat), sama seperti sesuatu yang ditetapkan oleh hukum (lihat pasal
1499).
Pasal 46

Jika terjadi pertentangan
antara larangan dan perintah, maka dahulukan yang larangan. Sebagai
konsekuensinya, seorang tidak boleh menjual barang pada orang lain, jika barang
tersebut telah diserahkan kepada pemberi kredit sebagai jaminan.
Pasal 47

Suatu barang sertaan yang
secara nyata berhubungan dengan suatu objek maka hukumnya sama dengan objek
tersebut. Dengan demikian jika seekor binatang yang sedang mengandung dijual
kepada orang lain, maka bayinya yang ada dalam perunya juga ikut dijual.
Menjual sebidang tanah termasuk di dalamnya pohon yag ada di tanah itu.
Pasal 48

Suatu barang sertaan suatu
objek tidak dapat diperlakukan terpisah dari objek tersebut. Contoh: Anak
binatang yang masih ada di dalam perut induknya tidak dapat dijual secara
terpisah dari induknya.
Pasal 49

Barangsiapa yang memiliki
suatu barang dengan kepemilikan yang sempurna juga merupakan pemilik dari
sesuatu yang berkaitan dengan barang tersebut.
Contoh: Seseorang yang
membeli sebuah rumah juga sebagai pemilik jalan yang menuju ke rumah tersebut.
Pasal 50

Apabila gugur pokok, maka
gugur pula cabangnya. Contohnya apabila creditur menghapuskan utang debitur,
maka hapus pula penjaminnya, karena dalam utang-piutang, debitur itu pokok,
sedang penjamin adalah cabang.
Pasal 51

Sesuatu hak yang telah digugurkan, tidak bisa
dikembalikan (lihat pasal 281, 335).
Pasal 52

Jika sesuatu (barang) menjadi
(Batal) maka suatu yang ada di dalamnya juga menjadi batal.
Pasal 53

Apabila barang yang asal sudah
tidak ada, maka bisa diganti dengan nilainya.
Contoh: Apabila barang yang
dirampas sudah tidak ada di tangan perampas, maka si perampas harus mengganti
dengan harga tersebut.
Pasal 54

Sesuatu yang dilarang pada asalnya, bisa dibolehkan jika
menjadi pelengkap.
Contoh: Seorang pembeli
tidak dibolehkan meminta untuk membelikan benda yang sudah terjual. Tetapi bila
penjual itu memberi pembeli sebuah karung untuk menakar dan membawa bendanya,
maka pembeli dapat menerima benda itu sebagai barang pelengkap (alat).
Pasal 55

Sesuatu yang dilarang pada
awalnya bisa diperbolehkan setelah beberapa perioda kemudian.
Contoh : Pemisahan harta
milik bersama yang tidak dapat dipisahkan dan belum dibagikan melalui pemberian
adalah tidak boleh, tetapi jika seorang pemilik barang milik bersama yang tidak
dapat dipisahkan itu telah memberikan pula sebagai hibah maka harta itu dapat
menjadi harta si penerima hibah.
Pasal 56

Melanjutkan lebih mudah daripada memulai
Pasal 57

Tidak sempurna suatu akad tabarru’ kecuali ada penyerahan
Dengan demikian, suatu
tabarru’ (kebaikan) menjadi sempurna dan mengikat sejak penyerahannya
dilaksanakan.
Contoh: Seseorang menghibahkan
sesuatu hibah kepada orang lain. Hadiah itu belum mengikat sampai penyerahannya
dilaksanakan. (Tidak sempurna suatu aqad tabaru (kebaikan) kecuali dengan
serah-terima)
Pasal 58

Tindakan hukum terhadap orang
yang ada di dalam perlindungannya/pengawasannya harus berdasar kemaslahatan
(lihat pasal 1540, 685)
Pasal 59

Perwalian pribadi lebih kuat daripada perwalian umum.
Contoh: Perwalian yang
dilaksanakan oleh orang yang ditunjuk suatu lembaga keagamaan lebih kuat
daripada perwalian ditunjuk oleh pengadilan. (Kekuasaan yang khusus lebih kuat
daripada kekuasaan yang umum).
Pasal 60

Mengamalkan/melaksanakan suatu kalimat lebih utama
daripada menyia-nyiakannya.
Pasal 61

Apabila arti tersurat tidak
dapat diterapkan, maka dapat digunakan makna yang tersirat.
Pasal 62

Jika suatu kalimat tidak
mempunyai arti apa-apa, abaikanlah semuanya. Yakni, jika suatu kalimat tidak
dapat dipahami baik secara hakiki/tersurat maupun secara majazi/tersirat, maka
kata itu bisa diabaikan.
Pasal 63

Menyebutkan bagian dari suatu
barang yang tidak dapat dibagi-bagi, berarti menyebutkan terhadap
keseluruhannya.
Pasal 64

Lafazh yang mutlak diterapkan
dalam kemutlakannya, sepanjang tidak ada bukti yang membatasi makna tersebut
baik dari nash hukum maupun hasil pemahaman yang mendalam (lihat Pasal 1494,
1459, 1482)
Pasal 65

Suatu penjelasan terhadap
suatu barang yang ada, tidak mempunyai pengaruh apa-apa, dan hal yang sebaliknya bila barang itu tidak ada,
penjelasan menjadi berpengaruh (lihat Pasal 310 dan 107).
Contoh: Seorang penjual yang
sedang menjual kuda warna hitam yang ada di tempat jual-beli itu, dalam
penjelasannya ia mengatakan menjual kuda coklat seharga sekian rupiah,
penjualannya itu dianggap benar atau (sah) dan kata coklat tidak berakibat
apa-apa. Tetapi, bila ia menjual kuda hitam yang tidak ada di tempat itu, dan
ia mengatakan bahwa kuda itu coklat, maka penjualannya itu tidak sah, tetapi
pernyataannya diterima.
Pasal 66

Suatu pertanyaan telah terulangi di dalam jawaban.
Artinya, ketika pertanyaan itu
di jawab orang yang menjawab pertanyaan dianggap telah mengulangi pertanyaan.
Contoh:Seorang hakim bertanya
kepada tergugat : “Apakah istrimu telah kau talaq?” Apabila dijawab dengan
“Ya”, maka bagi istri tergugat telah berlaku hukum sebagai wanita yang telah
ditalaq.
Pasal 67

Tidak ada kepastian hukum yang
dapat ditetapkan kepada seseorang yang diam, tetapi sikap diam sama dengan
pernyataan apabila yang diam itu dituntut untu bicara.
Artinya, tidak boleh dikatakan
bahwa seseorang yang bersikap diam dianggap telah membuat pernyataan ini dan
itu. Tetapi apabila seseorang itu diam, padahal ia diharuskan membuat sesuatu
pernyataan, maka sikap diamnya itu dapat dianggap sebagai pengakuan dan
pernyataannya (lihat Pasal 1659, 843).
Pasal 68

Petunjuk dari sesuatu yang samar (kabur), dapat dijadikan
bukti.
Artinya, masalah yang samar,
yang sukar dicari kebenarannya harus diputuskan dengan bukti yang jelas dengan
petunjuk/tanda-tanda (lihat pasal 183).
Pasal 69

Tulisan sama kedudukannya dengan perkataan (lihat pasal
1610, 173, 436).
Pasal 70

Isyarat yang sudah diketahui
umum dari seorang yang bisu, sama kedudukannya dengan kata-kata yang diucapkan.
Pasal 71

Kata-kata dari seorang penterjemah diterima tanpa
pengecualian.
Pasal 72

Tidak bisa diterima bagi suatu
yang samar-samar yang sudah tercemar oleh kekeliruan yang jelas.
Pasal 73

Suatu kemungkinan, meskipun
didasarkan pada suatu data, bukan merupakan suatu bukti.
Contoh: Jika seseorang yang
sakit keras (hampir meninggal) mengaku bahwa ia berhutang sejumlah uang kepada
salah seorang ahli warisnya, maka pengakuan tersebut tidak dapat dijadikan
bukti sampai dibenarkan oleh para ahli waris yang lain, karena da kemungkinan
berdasarkan informasi dari seseorang yang sedang sakit keras. Ada ahli waris yang ingin mengelabui ahli
waris lain. Jika pengakuan itu dibuat tatkala ia dalam keadaan sehat, maka
pengakuannya dianggap sah. Dugaan yang ada dalam kasus ini hanya perkiraan yang
ngambang, dan konsekuensinya tidak akan ada bantahan terhadap keabsahan dari
pengakuan tersebut.
Pasal 74

Suatu dugaan tidak mempunyai arti apa-apa.
Pasal 75

Sesuatu yang ditetapkan
berdasarkan bukti yang sah, hukumya sama dengan sesuatu yang ditetapkan
berdasarkan saksi.
Pasal 76

Bukti wajib diberikan oleh
orang yang menggugat dan sumpah wajib dilakukan oleh orang yang mengingkari
(lihat Pasal 1817, 1818, 1819).
Pasal 77

Tujuan suatu pembuktian adalah
untuk membuktikan apa yang tidak cocok dengan kenyataannya; tujuan suatu sumpah
adalah untuk meyakinkan kebenaran suatu pernyataan/pengakuan.
Pasal 78

Kesaksian adalah bukti yang
berdampak pada orang ketiga; pengakuan adalah bukti yang mempengaruhi hanya
bagi yang membuat pengakuan saja (lihat Pasal 1572).
Pasal 79

Seseorang terikat oleh
pengakuannya (lihat Pasal 1632, 1581, 1127, 1654, 1575, 1577).
Pasal 80

Tidak bisa dijadikan bukti
keterangan yang bertentangan; tetapi hal ini tidak menyebabkan putusan
pengadilan yang dijatuhkan kepada orang yang mengemukakan penyangkalan itu
menjadi tidak sah.
Contoh: Para
saksi menyangkal bukti-bukti yang telah berikan. Fakta tertentu belum tentu
bukti tetapi jika sidang pengadilan telah memutuskan sesuatu berdasarkan
kesaksian yang pertama, maka keputusan itu tidak bisa diabaikan, dan para saksi
harus menerima keputusan yang telah dijatuhkan kepada lawannya (lihat pasal
1729).
Pasal 81

Kesalahan dalam menentukan
tuntutan primer; tidak berarti kesalahan untuk menetapkan tuntutan subsider:
Contoh : Seseorang mengatakan
bahwa A mempunyai utang sejumlah uang kepada B dan ia mempunyai jaminan dari A.
Orang itu diwajibkan membayar jumlah uang tersebut meskipun ia (A) menyangkal
utangnya, sementara B meminta pembayaran.
Pasal 82

Sesuatu yang digantungkan
kepada suatu syarat, wajib adanya ketika adanya syarat itu
Contohnya : Di dalam pesanan
disyaratkan, apabila barang belum jadi dalam waktu sepuluh hari, maka aqad
pesanan batal. Maka sebelum sampai sepuluh hari si pemesan tidak dapat menuntut
pembatalan aqad.
Pasal 83

Suatu persyaratan harus
dipenuhi sedapat mungkin (lihat Pasal 186, 187, 188, 287, 468, 474, 884, 1166,
1420, 189, 784, 777, 813, 1071, 1402).
Pasal 84

Suatu janji yang didasarkan
pada suatu syarat tidak dapat dibatalkan jika syarat itu sudah terpenuhi.
Contoh: Seseorang meminta A
untuk menjualkan barang tertentu kepada B, dan ia juga berkata kepada A bahwa
ia akan membayar A meskipun B tidak jadi membeli barang tersebut. Dan pada
kenyataanya B memang tidak membeli barang tersebut. Maka orang yang telah
berjanji itu diwajibkan membayar sejumlah uang kepada A.
Pasal 85

Manfa’at merupakan faktor
pengganti bagi kerugian yang berkaitan dengan suatu benda; artinya, apabila
suatu barang rusak, maka pemiliknya menderita kerugian dan pada saat yang sama
diapun harus mendapatkan manfaat.
Contoh: Seekor binatang
dikembalikan (oleh pembelinya) dengan alasan cacat. Penjual tidak boleh meminta
bayaran atan penggunaan binatang itu sebab penggunaan binatang tersebut telah
menjadi hak pembeli (lihat pasal 891, 903).
Pasal 86

Pemberian upah dan
tanggungjawab untuk mengganti kerugian suatu barang tidak berjalan bersamaan
(lihat Pasal 416, 550)
Pasal 87

Resiko adalah yang menyertai
manfaat. Artinya, seseorang yang memanfaatakan sesuatu, harus memberikan
konpensasi kepada orang yang telah memberi manfaat tersebut (lihat Pasal 292,
1308).
Pasal 88

Pengorbanan sesuai dengan imbalan dan imbalan sesuai
dengan pengorbanan.
Pasal 89
"The responsibility
for an act falls upon the author thereof; it does not fall upon the person
ordering such act, provided that such person does not compel the commission
thereof."
Tanggungjawab dari suatu perbuatan berada pada pelakunya,
tidak menjadi tanggung jawab orang yang memerintahkan untuk melakukan perbuatan
tersebut dengan catatan bahwa orang tersebut tidak memaksakan perintahnya
(lihat Pasal 295, 960).
Pasal 90

Apabila berkumpul pelaku
langsung dan pelaku tidak langsung (sebab), maka pertanggungjawaban hukum
dibebankan kepada pelaku langsung.
Contoh: A menggali lobang di
jalan umum dan B telah menjerumuskan seekor binatang kepunyaan C kedalanya
hingga mati; maka B bertanggungjawab atas kejadian itu, sedangkan orang yang
menggali sumur (A) tidak harus mempertanggungjawabkan kerugian apapun.
Pasal 91

Suatu perbuatan yang
dibenarkan oleh hukum syara’. Tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi.
Contoh: Seekor binatang
kepunyaan A jatuh ke dalam sumur yang telah digali oleh B di tanah miliknya
dengan kepemilikan penuh dan binatang itu mati. Dalam hal ini tidak ada
tuntutan kompensasi atas B (lihat Pasal 605, 799, 796, 822, 824, 1075).
Pasal 92

Seseorang yang melakukan suatu
perbuatan (pelaku langsung), meskipun tidak sengaja. Harus bertanggungjawab
untuk mengganti kerugian yang diakibatkan perbuatannya (lihat Pasal 912, 913).
Pasal 94

Tiada pertanggungjawaban
berkaitan dengan perbuatan atau kerusakan yang dilakukan oleh binatang yang
menjadi miliknya, kecuasi dengan sengaja disuruhnya hewan itu merusak
sesuatu (lihat Pasal 929).
"No liability attaches in
connection with injury caused by animals of their own accord."
Pasal 95

Setiap perintah untuk
melakukan transaksi tentang harta orang lain yang dilakukan seperti pada harta
miliknya sendiri adalah batal demi hukum.
Pasal 96

Tiada seorang pun boleh
melakukan tindakan hukum atas harta orang lain dengan perlakuan seperti pada
harta miliknya sendiri, tanpa ada izin dari orang yang bersangkutan (lihat
Pasal 219, 365, 446, 857, 1546, 1075, 1078, 1079).
Pasal 97

Tak seorang pun boleh
mengambil harta orang lain tanpa alasan hukum yang sah (lihat Pasal 891, 899,
369).
Pasal 98

Setiap perubahan yang menjadi
penyebab dari kepemilikan barang yang sempurna adalah sama dengan perubahan
pada barang itu sendiri (lihat Pasal 869, 255).
Pasal 99

Seseorang yang mempercepat
penyelesaian suatu urusan sebelum waktunya, ia dihukum, karena ia tidak
mematuhi proses yang seharusnya.
Pasal 100

Jika seseorang mencoba
menyangkal suatu perbuatan yang dilakukannya sendiri, maka penyangkalan itu
tidak perlu ditanggapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar