–·•Ο•·–
أَماَّ
وَلَوْلاَ وَلَوْمَا
Bab
AMMAA, LAWLAA dan LAWMAA
أَمَّا
كَمَهْمَا يَكُ مِنْ شَيءٍ وَفَا ¤ لِتِلْوِ
تِلْوَهَا وُجُوباً أُلِفَا
Huruf syarat “AMMAA”
seperti makna “MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN” (apapun yg ada/bagaimanapun).
Sedangkan FA’ wajib dipasang pada yg mengiringi pengiringnya (yakni pada
Jawab yg mengiringi Syaratnya).
وَحَذْفُ
ذِيْ الفَا قَلَّ فِيْ نَثْرٍ إذَا ¤ لَمْ
يَكُ قَوْلٌ مَعَهَا قَدْ نُبِذَا
Pembuangan FA’ ini
(yakni FA’ Jawab) jarang terjadi pada kalam natsar, (kecuali) apabila
jawabnya berupa lafazh “QOUL” yg dibuang bersama FA’nya.
–·•Ο•·–
|
“AMMAA” termasuk dari huruf syarat
yg bukan amil jazm, berfaidah taukid dan sering dipergunakan untuk Tafsil.
· Bukti sebagai huruf syarat : Lazim menggunakan FA’ pada jawabnya.
· Bukti berfaidah taukid : sebagaimana ulama nahwu menyebutnya “harfun yu’thi al-kalaama fadhla taukiidin” yakni huruf yg berfaidah melebihkan kalam dengan nilai taukid, contoh kalimat “ZAIDUN DZAAHIBUN” kalau dikehendaki zaid sudah pasti perginya maka diucapkan dengan kalimat “AMMAA ZAIDUN FA DZAAHIBUN”.
· Bukti sering dipergunakan untuk tafsil : diulang-ulangnya pada tiap-tiap bagian tafsilannya, contoh dalam Al-Qur’an (QS. Adh-Dhuha 9-10)
· Bukti sebagai huruf syarat : Lazim menggunakan FA’ pada jawabnya.
· Bukti berfaidah taukid : sebagaimana ulama nahwu menyebutnya “harfun yu’thi al-kalaama fadhla taukiidin” yakni huruf yg berfaidah melebihkan kalam dengan nilai taukid, contoh kalimat “ZAIDUN DZAAHIBUN” kalau dikehendaki zaid sudah pasti perginya maka diucapkan dengan kalimat “AMMAA ZAIDUN FA DZAAHIBUN”.
· Bukti sering dipergunakan untuk tafsil : diulang-ulangnya pada tiap-tiap bagian tafsilannya, contoh dalam Al-Qur’an (QS. Adh-Dhuha 9-10)
فَأَمَّا
الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ
FA AMMAA AL-YATIIMA FA
LAA TAQHAR, WA AMMAA AS-SAA’ILA FA LAA TANHAR. = Sebab itu, terhadap anak yatim
janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta,
janganlah kamu menghardiknya. (QS. Adh-Dhuha 9-10).
Terkadang tanpa diulang dengan
mencukupi penyebutan AMMAA pada salah-satu bagian tafsilnya, contoh dalam
Al-Qur’an (QS. Ali Imran 7):
فَأَمَّا
الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء
الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللهُ
وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ
FA AMMAA AL-LADZIINA FII
QULUUBIHIM ZAIGHUN fa yattabi’uuna maa tasyabaha minhubtighaa’al-fitnati
wab-tighaa’a ta’wiilihi wa maa ya’lamu ta’wiilahu illallaahu. WAR-ROOSIKHUUNA
FIL-’ILMI YAQUULUUNA AAMANNAA BIHI = Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat… (QS. Ali Imran 7).
Ayat ini pada kalimat tafsil kedua
seakan berbunyi : “AMMAA” AR-ROOSIKHUUNA FIL-’ILMI “FA” YAQUULUUNA AAMANNAA BIHI..
Terkadang penggunaan AMMAA
terlewatkan tanpa fungsi Tafsil, contoh :
أما
زيد فمنطلق
AMMAA ZAIDUN FA
MUNTHALIQUN = Bagaimanapun… Zaid sudah pergi.
Lafazh AMMAA disini menempati posisi
“Adat Syarat + Fi’il Syarat” oleh karena itu Imam Sibawaih menafsirinya dg
kalimat: “MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN” (apapun yg ada/bagaimanapun). sedangkan
lafazh yg jatuh setelah AMMAA disebut Jawab Syarat, karena itulah diwajibkan
memasang FA Jawab sebagai robit/kaitan antara Jawab dan Syarat.
Contoh apabila kamu mengucapkan :
Contoh apabila kamu mengucapkan :
أما
علي فمخترع
AMMAA ‘ALIYYUN FA
MUKHTARI’UN = Bagaimanapun… Ali lah penemunya.
Maka penakdiran asal kalimatnya
adalah :
مهما
يك من شيء فعلي مخترع
MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN
FA ‘ALIYYUN MUKHTARI’UN = apapun adanya Ali lah penemunya.
I’lal Kalimat :
lafazh “AMMAA” menggantikan lafazh ”
MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN” maka menjadi “AMMAA FA ‘ALIYYUN MUKHTARI’UN” kemudian
huruf FA’nya diakhirkan pada Khobar, maka menjadi ” AMMAA ‘ALIYYUN FA
MUKHTARI’UN”.
Huruf FA’ tersebut wajib dipasang pada Jawab sebagai Robit Mujarrad. Tidak boleh membuang FA’ kecuali jawabnya berupa lafazh QOUL yg dibuang, maka umumnya FA’nya juga ikut dibuang, contoh dalam Al-Qur’an :
Huruf FA’ tersebut wajib dipasang pada Jawab sebagai Robit Mujarrad. Tidak boleh membuang FA’ kecuali jawabnya berupa lafazh QOUL yg dibuang, maka umumnya FA’nya juga ikut dibuang, contoh dalam Al-Qur’an :
فَأَمَّا
الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ: “أَكَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ…”
FA AMMAL-LADZIINA-SWADDAT
WUJUUHUHUM: “AKAFARTUM BA’DA IIMAANIKUM…” = Adapun orang-orang yang hitam muram
mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman?..”
(QS. Ali Imran 106)
Fa’ dan Jawab yg dibuang tersebut
takdirannya adalah :
فَيُقَالُ
لَهُمْ: أَكَفَرْتُم…
FA YUQOOLU LAHUM:
“AKAFARTUM… = maka dikatakan kepada mereka : “Kenapa kamu kafir….”
FA YUQOOLU LAHUM = Jawab berupa
Lafazh Qoul.
AKAFARTUM = Maquul/isi dari Qoul.
Lafazh Qoul dibuang dicukupi dengan adanya Maquul, dan FA’nya otomatis ikut terbuang, sesuai kaidah “Yashihhu tab’an maa laa yashihhu istiqlaalan” (shah diikutkan bagi suatu yg tidak shah dilepaskan).
AKAFARTUM = Maquul/isi dari Qoul.
Lafazh Qoul dibuang dicukupi dengan adanya Maquul, dan FA’nya otomatis ikut terbuang, sesuai kaidah “Yashihhu tab’an maa laa yashihhu istiqlaalan” (shah diikutkan bagi suatu yg tidak shah dilepaskan).
Selain tersebut diatas, pembuangan
FA’ pada kalam Natsar (Selain pada Lafazh QOUL yg terbuang) juga ditemukan tapi
sedikit adanya.
Contoh dalam Hadits Rosulullah
bersabda :
أَمَّا
مُوسَى كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ إِذْ انْحَدَرَ فِي الوَادِي يُلَبِّي
أَمَّا
بَعْدُ، مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ
CONTOH I’ROB
أما
علي فمخترع
AMMAA ‘ALIYYUN FA
MUKHTARI’UN
AMMAA = Huruf Syarat, Taukid,
pengganti kalimat “Mahmaa Yaku Min Syai’in”, Mahal Rofa’ menjadi Mubtada’.
ALIYYUN = Rofa’ menjadi Mubtada’
FA MUKHTARI’UN = “Fa” sebagai Robit, “Mukhtari’un” sebagai Khobar dari Mubtada’.
Jumlah Ismiyah “Aliyyun Fa Mukhtari’un” tidak menempati mahal I’rob sebagai Jawab dari Syarat yg bukan Amil Jazem.
ALIYYUN = Rofa’ menjadi Mubtada’
FA MUKHTARI’UN = “Fa” sebagai Robit, “Mukhtari’un” sebagai Khobar dari Mubtada’.
Jumlah Ismiyah “Aliyyun Fa Mukhtari’un” tidak menempati mahal I’rob sebagai Jawab dari Syarat yg bukan Amil Jazem.
مهما
يك من شيء فعلي مخترع
MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN
FA ‘ALIYYUN MUKHTARI’UN
MAHMAA = Isim Syarat, Amil Jazem,
menjadi Mubtada’.
YAKU = Fi’il Mudhari’ Tamm diJazemkan oleh Mahmaa menjadi Fi’il Syarat.
MIN SYAI’IN = “Min” huruf Jar Zaidah, “Syai’in” menjadi Fa’il, di I’rob rofa’ dengan Dhammah yg dikira-kira dg harkat kasroh dan tercegah I’rob zahirnya karena dimasuk huruf Jar Zaidah.
FA ‘ALIYYUN = “Fa” huruf tanda jawab yg dipasang pada Jawab syarat. “Aliyyun” Mubtada’.
MUKHTARI’UN = Khobar dari mubtada.
Jumlah “Fa Aliyyun Mukhtari’un” adalah Jumlah Ismiyah dalam mahal jazem menjadi Jawab Syarat.
YAKU = Fi’il Mudhari’ Tamm diJazemkan oleh Mahmaa menjadi Fi’il Syarat.
MIN SYAI’IN = “Min” huruf Jar Zaidah, “Syai’in” menjadi Fa’il, di I’rob rofa’ dengan Dhammah yg dikira-kira dg harkat kasroh dan tercegah I’rob zahirnya karena dimasuk huruf Jar Zaidah.
FA ‘ALIYYUN = “Fa” huruf tanda jawab yg dipasang pada Jawab syarat. “Aliyyun” Mubtada’.
MUKHTARI’UN = Khobar dari mubtada.
Jumlah “Fa Aliyyun Mukhtari’un” adalah Jumlah Ismiyah dalam mahal jazem menjadi Jawab Syarat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar