ASWAJA
|
Pada hakikatnya, Ahlussunnah
bukanlah merupakan suatu agama bagi aliran tertentu dari ahlul kalam. Namun, karena
muncul berbagai masalah yang jadi perselisihan ahlul qiblat (Umat Islam)
sehingga menjadi beberapa kelompok(firqoh). Padahal sebelumnya mereka semua
tunduk pada dasar-dasar agama (tidak membahas atau mempermasalahkannay). Maka,
Ahlussunnah (secara global) ada dua golongan, dan keduanya benar, ‘alal haq.
Sebagian kelompok adalah tetap eksis
terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah as-Shohihah, yang dikukuhi oleh para Sahabat
dan tabi’in. tatkala pemikiran-pemikiran baru mulai bermunculan, dan cara
berpikir mulai bercabang-cabang, kelopok ini memilih untuk tetap berpedoman
pada dhohir-nya al-Qur’an dan as-Sunnah, setia dengan aqidah-aqidah para
pendahulunya (Sahabat dan tabi’in) tanpa mempertimbangkan sedikitpun logis
maupun tidaknya. Sehingga apabila mereka berbicara menggunakan logika murni,
itu hanya untuk menolak pendapat musuh, mengalahkan atau sekedar menambah
kemantapan, tidak untuk menggali atau mencetak aqidah darinya. Mereka adalah
Ahlussunnah.
Kelompok kedua terpaksa menggunakan logika murni untuk men-ta’wil (mengalihkan dlohir-nya) nash dari arti asli lughawi-nya yang dalam anggapan mereka bertentangan dengan akal. Maka, mereka memberi pentakwilan yang masuk akal (serta tidak bertentangan dengan undang-undang Syara’ dan tata bahasa Arab) untuk sekedar men-tahqiq-kan pengertian nash-nash tersebut dan penjelasannya pada kaum awam / ajam yang pada mulanya mereka adalah penyembah berhala (mujassim).1)
Jadi,
Ahlussunnah ada dua kelompok, yaitu salaf (ahlul hadits) dan
kholaf (ahlul kalam sunni). Dan mereka adalah:
الذين تمسكوا في العقيدة والشريعة والسلوك الإجتماعي بما دلت
عليه نصوص الكتاب والسنة المشهورة وبما جرى عليه جمهور الصحابة والتابعين وأخذوا
بما أثبتته الأدلة العقلية ما لم يتعارض مع القواعد الشرعية لإلزام الخصوم والرد
عليهم أو لزيادة الطمأنينة لا لاستفادة العقائد منها.
Pada dasarnya, “Ahlussunnah salaf”
maupun “Ahlussunnah kholaf” adalah sama. Hanya saja kalau salaf enggan men-ta’wil
(al-Qur’an/al-Hadits) yang sulit diterima akal, sedangkan kholaf, karena
perubahan zaman dan timbulnya berbagai pemikiran sesat serta “penta’wilan” yang
bukan-bukan, maka mereka menta’wil dan memberi arti logis yang tidak
bertentangan dengan qowanin syar’iyyah dan lughowiyyah demi
memberi penjelasan pada orang awam yang sulit menerima ayat tersebut atau
menolak faham bid’ah.
Jadi,
kelompok ini adalah sama aqidahnya, namun berbeda sikap dalam menghadapi
nash-nash al-Qur’an maupun al-Hadits yang menyebutkan sifat-sifat Allah SWT,
yang seakan-akan menyiratkan adanya tasyabbuh (keserupaan Allah dengan
makhluk-Nya). Kelompok pertama (ahlul hadits) bersikap diam dan tidak
menafsirkannya, sedangkan yang kedua bersikap menafsiri dengan tafsiran yang
jauh dari pen-tasybih-an.
Mengapa
sampai para ahli hadits berpegang teguh pada lahiriahnya dalil nash, adalah
karena merebaknya pemikiran-pemikiran bid’ah Mu’tazilah yang cenderung
menafikan nash-nash mutasyabihat/men-ta’wil-kan sifat-sifat Allah
SWT. Maka, manakala salafussholeh ahlul hadits melihat kiprah Mu’tazilah dengan
pemikiran-pemikiran bid’ahnya “menafikan sifat-sifat Allah” yang jelas-jelas
sangat bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW yang telah dikenal oleh para al-aimmatu
al-Rasidin (imam-imam yang benar), dan mereka (Mu’tazilah) dibantu oleh
jama’ah khalifah Bani Abbas dalam masalah penafian sifat dan khalqul Qur’an,
maka para ahli hadits dalam menetapkan madzhab Ahlussunnah yang berkaitan
dengan mutasyabihat-nya ayat-ayat al-Qur’an maupun Hadits Rasulullah SAW
memilih jalan yang telah ditempuh oleh para pendahulunya, semisal Imam Malik
bin Anas. Slogan mereka adalah:
نؤمن بما ورد به
الكتاب والسنة ولا نتعرض للتأويل، بعد أن نعلم قطعا أن اللـه عز وجل لا يشبه شيئا
من المخلوقات، وأن كل ما تمثل في الوهم فإنه خالقه مقدره.
Sehingga, karena ketinggian disiplin
mereka, maka dengan tegas mereka menyatakan: “siapapun yang menggerakkan
tangannya tatkala membaca ayat kholaqtu biyadii atau mengisyaratkan
telunjuknya pada saat meriwayatkan hadits qolbul mu’miniina baina usbu’aini
min ashobi-ir rohman, maka harus diputus tangannya dan dicabut
telunjuknya”.2)
Setiap
orang berpengetahuan pasti tahu bahwa ahlul hadits lebih mengenal berbagai
perilaku, biografi para rawi dan hadits-hadits Rasulullah SAW dibandingkan
dengan yang lain. Sebagaimana ahli nahwu lebih mengenal seluk beluk Imam
Sibawaih dan Kholil yang tidak diketahui oleh orang lain. Ini harus diakui,
namun, para ahli bid’ah yang menafikan sifat-sifat Allah SWT telah menjadikan
ayat “laisa kamitslihi syai-un” sebagai senjata untuk menolak
hadits-hadits shahih. Setiap didatangkan hadits yang kontra dengan rasio dan
logika filsafatnya, mereka selalu menolak dengan “laisa kamitslihi syai-un”,
inilah suatu cerminan atas kesesatan mereka dan tipu dayanya pada
orang-orang awam yang lebih buta hatinya dari mereka serta merubah makna
ayat-ayat al-Qur’an.
Mereka
memahami hadits-hadits sifat dengan suatu pemahaman yang tak dikehendaki oleh
Allah dan Rasul-Nya serta para aimmatul Islam. Anggapannya,
hadits-hadits tersebut hanyalah akan menetapkan tasybih. Kemudian untuk
menolak hadits tersebut, digunakan ayat “laisa kamitslihi syai-un”. Inilah
suatu perubahan dua Nash sekaligus. Seterusnya, mereka mengarang berbagai kitab
yang dipenuhi pemikiran-pemikiran bid’ah. Katanya: “Inilah aqidah-aqidah agama
Islam yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk diyakininya serta datang
dari-Nya”. Mereka juga sering membaca al-Qur’an dan men-tafwidl-kan
maknanya pada Allah SWT tanpa meresapi arti yang telah dijelaskan oleh
Rasulullah SAW dan menegaskan bahwa itulah arti yang dikehendaki Allah SWT.3)
Belum
cukup kebiadapan mereka mengartikan al-Qur’an sekehendaknya sendiri tanpa
mencari petunjuk dari sunnah Rasulullah SAW, masih ditambah pembantaian para
ulama yang tidak sealiran dengannya. Para penguasa Bani Umayyah yang telah
termakan rekayasa kotor mereka, dimanfaatkan untuk menyingkirkan ulama-ulama
Ahlus sunnah. Yaitu suatu fitnah besar yang merupakan warna kelabu bagi catatan
sejarah umat Islam akibat slogan “khalqul qur’an” yang dipropagandakan
mereka.4)
Melihat
bid’ah yang besar itu, Imam Ahmad bangkit dan berjuang dengan gigih
mempertahankan sunnah Rasulullah SAW. walaupun beliau masuk penjara selama dua
puluh delapan bulan, terbelenggu kedua kakinya, disekap dalam ruangan yang
pengap tanpa ada setitik cahaya sedikitpun, berbagai perlakuan kasar dan
pukulan menghantam dirinya hingga darah bercucuran, tubuh bengkak-bengkak dan
kulit mengelupas, beliau tetap konsekwen dan tegas mengatakan: “al-Qur’an kalamullah
adalah Qadim, tidak makhluk. Siapapun yang mengatakan al-Qur’an
makhluk, maka dia adalah kafir”.5)
Ketegangan
dan kegigihan Imam Ahmad ini, tak lain adalah demi mempertahankan ajaran
Rasulullah SAW dari tangan-tangan sesat kaum Mu’tazilah yang telah keblinger
mengobarkan “ghiroh keagamaan” pada saat ini. Dimana dunia telah
menghadapi suatu bencana besar, yakni penghancuran aqidah yang telah
dihembuskan oleh orang-orang Syi’ah. Dengan bangkitnya revolusi Syi’ah Iran
yang dipelopori oleh Khomeini, Islam dalam bahaya besar, dan kehancuran
diambang pintu. Karena gantinya, ditebarkan aliran-aliran sesat ”berhalaisme”
atau “jahiliyyah modern”. Syi’ah dengan bekerja sama dan dibantu oleh Yahudi,
Nasrani, kebatinan, kafir zindiq dan kaum atheis, bertujuan hendak meruntuhkan
Islam.6)
Kalau
umat Islam tidak bangkit, khususnya bangsa Indonesia, bagaimana nanti nasib
generasi selanjutnya?, Apakah mereka tetap bisa berpegang pada ajaran
Rasulullah SAW?, Bagaimana bentuk bangsa Insonesia ini bila telah
di-Syi’ah-kan?, Masihkah ada orang yang menghormati Sahabat?, Akankah al-Qur’an
terselematkan?, Bukankah perzinaan semakin merajalela dengan praktek muth’ah?.
Untuk
itu, demi mengaca pada perjuangan Imam Ahmad, marilah kita bertekad untuk
melawan Syi’ah. Semua pejabat dan rakyat harus bersatu padu membela ajaran
Rasulullah SAW dan mempertahankan al-Qur’an kalamullah.
KEGIATAN RUTINAN YANG MENJADI AGENDA PONPES AL-FAQIHIYYAH
BalasHapus*Puasa Membakar Hijab*
BalasHapusRasa manis yang tersembunyi,
Ditemukan di dalam perut yang kosong ini!
Ketika perut kecapi telah terisi,
ia tidak dapat berdendang,
Baik dengan nada rendah ataupun tinggi.
Jika otak dan perutmu terbakar karena puasa,
Api mereka akan terus mengeluarkan ratapan dari dalam dadamu.
Melalui api itu, setiap waktu kau akan membakar seratus hijab.
Dan kau akan mendaki seribu derajat di atas jalan serta dalam hasratmu.
*Disebabkan Ridha-Nya*
Jika saja bukan karena keridhaan-Mu,
Apa yang dapat dilakukan oleh manusia yang seperti debu ini
dengan Cinta-Mu?
*Letak Kebenaran*
Kebenaran sepenuhnya bersemayam di dalam hakekat,
Tapi orang dungu mencarinya di dalam kenampakan.
*Rahasia yang Tak Terungkap*
Apapun yang kau dengar dan katakan (tentang Cinta),
Itu semua hanyalah kulit.
Sebab, inti dari Cinta adalah sebuah rahasia yang tak terungkapkan.
*Pernyataan Cinta*
Bila tak kunyatakan keindahan-Mu dalam kata,
Kusimpan kasih-Mu dalam dada.
Bila kucium harum mawar tanpa cinta-Mu,