Perbedaan Antara Zakat Maal dan Zakat
Fitrah (2)
|
Zakat merupakan salah satu dari
rukun/pondasi ajaran Islam. Terkhusus pada aspek ekonomi, di mana salah satu
tujuan syariah (maqashid asy syariah) adalah terkait dengan penjagaan
sumberdaya ekonomi umat. lalu, bagaimanakah hakikat zakat tersebut? apakah
kewajiban zakat yang dibebankan kepada umat Islam, hanya zakat fitrah yang
rutin ditunaikan setiap bulan Ramadhan? silakan menyimak tulisan berikut.
9 Perbedaan Antara Zakat Maal dan
Zakat Fitrah
Fenomena berzakat di Bulan Ramadhan
bagi masyarakat muslim di Indonesia, tampaknya sebagai sebuah hal yang
mentradisi. Tak lain sebabnya karena memang pada bulan ini, selain diwajibkan
untuk berpuasa, namun ada pula kewajiban lainnya yaitu menunaikan zakat fitrah.
Hanya saja, menurut pengamatan
penulis, timbul sebuah kekeliruan dalam memahami konsep zakat yang hendak
ditunaikan. Sebagian muslim memahami bahwa zakat yang ditunaikan berupa zakat
fitrah merupakan kewajiban zakat yang banyak disebutkan dalam Al Qur’an dan
sering disandingkan dengan kewajiban shalat lima waktu dan menjadi salah satu
dari rukun Islam yang lima.
Namun karena salah memahami hakikat
zakat yang pada masa khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq orang-orang yang menolak
membayarkannya diperangi, mereka merasa cukup hanya dengan membayar zakat
fitrah yang hanya 2,5 kg beras per jiwa.
Dan hal itu diyakini sebagai
satu-satunya kewajiban zakat yang diwajibkan dalam agama atas mereka. Padahal
kewajiban seorang muslim yang mampu terkait dengan harta yang wajib ditunaikan
zakatnya mencakup dua jenis zakat; zakat maal (zakat atas harta yang memenuhi
kriteria untuk dikeluarkan zakatnya) dan zakat fitrah (zakat atas setiap jiwa).
Beberapa Perbedaan Antara Zakat Maal
dan Zakat Fitrah
Berikut beberapa perbedaan antara
zakat maal dan zakat fitrah serta beberapa ketentuan fiqih terkait keduanya:
Pertama: Dari sisi pengertian dan
sebab penamaan
Dari sisi pengertian etimologis,
zakat maal menurut para ulama adalah setiap harta yang berdasarkan kriteria
tertentu wajib dikeluarkan zakatnya. [1]
Meskipun para ulama
mendefinisikannya dengan redaksi yang berbeda, namun setidaknya dapat
disimpulkan bahwa mereka sepakat dari sisi penamaan zakat ini dengan zakat
maal, yaitu terkait dengan jenis-jenis harta (maal) yang wajib
dikeluarkan jika telah memenuhi syarat-syaratnya kepada yang berhak.
Sedangkan pengertian zakat fitrah
menurut istilah adalah ”Sedekah yang diwajibkan berkenaan dengan berbuka (al
fithr) dari Ramadhan.” [2]
Dari definisi zakat maal dan zakat
fitrah di atas dapat disimpulkan bahwa kedua jenis zakat tersebut memiliki
definisi yang berbeda karena disebabkan latar belakang dikeluarkannya kedua
zakat tersebut. Jika zakat maal dikeluarkan zakatnya dikarenakan adanya harta
yang telah ditentukan syariat jenis-jenis serta batasan-batasannya. Sedangkan
zakat fitrah dikeluarkan karena menandai berakhirnya ibadah puasa ramadhan
dengan berbuka (ifthar) darinya.
Kedua: Dari sisi dalil pensyariatan
Kewajiban zakat maal telah
ditetapkan oleh Al Quran, As-Sunnah dan juga ijma’ seluruh umat Islam. Al Quran
dan As Sunnah meyebut kewajiban ini dengan beberapa istilah seperti, zakat,
shadaqah, al haqq, an nafaqah, dan al ’afwu. Di
antaranya firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW berikut:
وَأَقِيْمُوا الصَّلاَةَ
وَآتُواالزَّكَاةَ
“Kerjakanlah shalat dan
tunaikanlah zakat “ (QS. Al-Baqarah : 43)
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ
لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
” Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan
berdo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu ketenteraman jiwa bagi
mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.? ” (QS. At-Taubah
:103).
وَآتُوْا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
”Dan tunaikanlah haknya
(zakatnya) pada hari panennya.” (QS.Al-An'am : 141)
بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلىَ
خَمْسٍ...مِنْهَا إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ
”Islam ditegakkan di atas lima
pijakan, (salah satunya) adalah menunaikan zakat.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
أَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ
عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلىَ فُقَرَائِهِمْ
”Beritahu mereka bahwa Allah
mewajibkan mereka mengeluarkan shadaqah (zakat) dari sebagian harta mereka.”
(HR. Bukhari)
Dan jenis zakat inilah yang dalam
sejaranya pernah ditolak oleh beberapa kabilah Arab pasca wafatnya Rasulullah
SAW hingga akhirnya para shahabat Nabi sepakat untuk memerangi mereka,
sebagaimana dialog antara Abu Bakar RA dan Umar RA berikut:
وَاَللَّهِ لأَقَاتِلَنَّ مَنْ
فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ فَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ المـال.
وَاَللَّهِ لَوْ مَنَعُونِي عَنَاقًا كَانُوا يُؤَدُّونَهَا إِلَى رَسُول اللَّهِ
لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهَا. قَال عُمَرُ: فَوَاَللَّهِ مَا هُوَ إِلاَّ أَنْ
قَدْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَعَرَفْتُ
أَنَّهُ الْحَقُّ.
”Demi Allah, aku pasti memerangi
mereka yang membedakan antara shalat dan zakat. Sebab zakat adalah hak harta.
Demi Allah, seandainya mereka menolak membayar seekor kambing muda yang dahulu
pernah dibayarkannya kepada Rasulullah SAW, pastilah aku perangi”. Umar radhiyallahu anhu berkata,"Demi Allah, sungguh
Allah telah melapangkan dada Abu Bakar radhiyallahuanhu, maka barulah aku tahu
bahwa hal itu memang benar.” (HR. Bukhari Muslim Abu Daud Tirmizi Nasai
Ahmad).
Sedangkan dalil pensyariatan zakat
fitrah umumnya berasalkan dari sabda Rasulullah SAW. Di mana secara khusus nabi
menyebutnya dengan istilah zakat fitrah. Sebagaimana perkataan Ibnu Umar RA
berikut:
فَرَضَ رَسُولُ اللهِ زَكَاةَ
الفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلىَ الناَّسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ
شَعِيْرٍ عَلىَ كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ المـسْلِمِين
“ Rasulullah SAW memfardhukan
zakat fithrah bulan Ramadhan kepada manusia sebesar satu shaa' kurma atau
sya'ir, yaitu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki dan perempuan dari
orang-orang muslim.” (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah dari Ibnu Umar RA).
أَدُّوا عَنْ كُل حُرٍّ وَعَبْدٍ
صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ
شَعِيرٍ
“Bayarkan untuk tiap-tiap orang
yang merdeka, hamba, anak kecil atau orang tua berupa setengah sha' burr, atau
satu sha' kurma atau tepung sya'ir .” (HR. Ad-Daruquthni).
كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ
إِذْ كَانَ فِينَا رَسُول اللَّهِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ
أَوْصَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ فَلاَ
أَزَال أُخْرِجُهُ كَمَا كُنْتُ
“ Kami mengeluarkan zakat fithr
ketika dahulu Rasulullah bersama kami sebanyak satu shaa' tha'aam
(hinthah),atau satu shaa' kurma, atau satu shaa' sya'ir, atau satu shaa' zabib,
atau satushaa' aqith. Dan aku terus mengeluarkan zakat fithr sedemikian itu
selama hidupku" . (HR. Jamaah dari Abi Said Al-Khudhri RA).
Ketiga: Dari sisi hukum taklifi
Tidak ada perbedaan di antara ulama
terkait hukum zakat maal. Di mana zakat ini merupakan salah satu rukun Islam
yang lima yang diwajibkan atas setiap kaum muslimin yang telah memenuhi
syarat-syaratnya.
Sedangkan untuk zakat fitrah, ulama
berbeda pendapat tentang kewajiban zakat jenis ini. Jumhur ulama sepakat
mengatakan bahwa hukum melaksanakan zakat fitrah ini adalah fardhu.
Dan yang dimaksud dengan fardhu
menurut para ulama adalah sesuatu yang hukumnya wajib untuk dikerjakan, dimana
apabila ada orang yang meninggalkan kewajiban itu maka dia berdosa dan diancam
siksa yang keras di neraka. Namun pandangan mazhab Al Hanafiyah agak sedikit
berbeda.
Mazhab ini mengatakan bahwa hukumnya
bukan fardhu melainkan wajib. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam istilah
mazhab Al-Hanafiyah, antara fardhu dan wajib terdapat perbedaan. Fardhu adalah
sesuatu yang diperintahkan Allah SWT dengan dalil yang qath'i, sedangkan
wajib adalah sesuatu yang diperintahkan Allah SWT namun dengan dalil yang zhanni.[3]
Namun pada hakikatnya tidak ada
perbedaan yang asasi antara pendapat mazhab Al Hanafiyah dengan pendapat
jumhur, bahkan zakat fitrah itu memang wajib atau fardhu untuk dikerjakan.
Hanya saja ulama menyatakan bahwa orang-orang yang menolak sebuah kewajiban
yang didasari dalil yang qath’i maka label kafir dapat disematkan pada mereka
sedangkan kewajiban yang didasari dalil dzanni tidak demikian.
Selain itu, terdapat pendapat yang
kurang masyhur dari kalangan Al Malikiyyah yang menyatakan bahwa hukumnya
sunnah mu’akkadah. Namun pendapat ini dianggap sangat lemah oleh Ad Dasuqi Al
Maliki.[4]
Keempat: Dari sisi hikmah
pensyariatan
Umumnya hikmah-hikmah zakat yang
disimpulkan ulama masa lalu maupun ulama kontemporer dari dalil-dalil Al Qur’an
dan As Sunnah ataupun pengalaman, pengamatan dan penelitian mereka berkisar
hikmah-hikmah terkait zakat maal. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah:
- Membentengi dan menjaga harta.
Sebagaimana sabda Nabi SAW, “Bentengi harta-harta kalian dengan zakat.” (HR.
At Thabarani) dan sabdanya, “Tidaklah musnah harta yang ada di daratan atau
di lautan kecuali oleh sebab tidak dikeluarkan zakatnya.”(HR. At-Thabarani)
- Menyembuhkan penyakit. Sebagaimana
sabda Nabi SAW, ”Sembuhkan orang sakit di antara kalian dengan bersedekah.”
(HR. At-Thabarani)
- Menggandakan harta dan pahala.
Sebagaiman firman Allah SWT,
” Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan pahalanya .”
(QS.Ar-Ruum: 38-39). “ Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan ke luar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq : 2-3). ” Perumpamaan orang-orang
yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat
gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas lagi Maha
Mengetahui. ” (QS. Al-Baqarah: 261). “ Dan perumpamaan orang-orang
yangmembelanjakan hartanya karena mencari keridaan Allah dan untuk keteguhan
jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram
oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat .” (QS.Al-Baqarah
: 265)
- Mensucikan jiwa. Sebagaimana
ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya, ” Ambillah sedekah (zakat) dari
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan diri
mereka.” (QS. At-Taubah :103).
- Mencegah bencana. Sabda Rasulullah
SAW, “Tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat kecuali Allah memberi
bencana dengan kelaparan dan kekeringan”. (HR. At Thabarani).”
Tidaklah suatu kaum enggan
mengeluarkan zakat kecuali Allah menahan turunnya hujan.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi).
” Tidaklah orang-orang menolak
membayar zakat kecuali dicegah dari air hujan dari langit. Kalaulah bukan
karena hewan-hewan, maka tidak akan diberi hujan. ” (HR. Ibnu
Majah,Al-Baihaqi dan Al-Hakim)
- Ungkapan syukur.
- Ungkapan syukur.
Sedangkan untuk hikmah zakat fitrah,
hal ini agak berbeda. Di mana secara khusus dalam salah satu haditsnya,
Rasulullah SAW secara gamblang menyebutkan hikmah dan tujuan dari pensyariatan
zakat fitrah, yitu sebagai pensuci orang-orang yang berpuasa dari hal-hal yang
membatalkan pahala puasa mereka serta sebagai sarana menghadirkan kegembiraan
pada hati orang-prang miskin pada hari ied fitri hingga mereka tidak
meminta-minta pada saat itu. [5]
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan
Abu Daud dari Ibnu Abbas, ia berkata:
فَرَضَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ، طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ
وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْل الصَّلاَةِ فَهِيَ
زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ
الصَّدَقَاتِ.
” Rasulullah SAW memfardhukan
zakat fitrah sebagai pensuci orang-orang yang berpuasa dari perbuatan-perbuatan
tak bermanfaat dan perkataan yang jelek (saat berpuasa), serta sebagai makanan
bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang membayarnya sebelum terlaksananya
shalat ied maka itu merupakan zakat yang diterima sedangkan barang siapa yang
membayarnya setelah terlaksananya shalat ied maka itu merupakan salah satu dari
shadaqah sunnah .” (HR. Abu Daud).
Kelima: Dari sisi waktu pelaksanaan
Dari sisi waktu mengeluarkan zakat
maal maka dikenal istilah haul dan waqtul hashad. Haul secara
bahasa artinya satu tahun. Terkait dengan zakat, ulama sepakat bahwa haul
merupakan salah satu syarat diwajibkannya mengeluarkan zakat yang telah
mencapai nishabnya untuk jenis zakat binatang ternak, emas, perak, dan barang
dagangan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW,
” Tidak ada zakat atas harta
sehingga mencapai satu haul/tahun” (HR. Ibnu Majah dari Aisyah RA).[6]
Sedangkan untuk jenis zakat
pertanian maka tidak disyaratkan adanya haul namun zakat jenis ini dikeluarkan
sejak waktul hashad atau masa penen berdasarkan firman Allah SWT,
” Dan Dialah yang menjadikan
kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon
korma,tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
dan tidak sama. Makanlah dari buahnya bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya
dihari memetik hasilnya; dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan .” (QS. Al-An'am : 141).
Demikian pula jenis zakat ma’din
dan rikaz.[7]
Adapun zakat fitrah maka tidak
dikenal kedua istilah tersebut. Dan sesuai dengan namanya, maka zakat fitrah
dikeluarkan pada hari fithr, yaitu hari lebaran atau Hari Raya Idul Fithri,
pada tanggal 1 Syawwal. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW, “Cukupkan
bagi mereka di hari ini”. (HR. Ad-Daruquthny).
Keenam: Dari sisi qadha’
Jika seseorang yang berkewajiban
mengeluarkan zakat fitrah terlambat mengeluarkannya, ulama sepakat bahwa
kewajiban itu tetap berlaku, bukannya malah dibatalkan, dan meski dilakukan
setelah waktunya lewat. Namun menurut para ulama hal itu tidak disebut sebagai
qadha’.
Jadi kewajiban mengeluarkan zakat
fithrah ini ibarat orang yang berhutang kepada orang lain. Bila telah jatuh
tempo dan belum dibayar tanpa alasan yang benar, dia jelas berdosa. Namun bukan
berarti hutang-hutang itu hangus. Hutangnya tetap ada dan tetap harus
ditunaikan.
Sebab hal itu merupakan hak hamba
lainnya. Adapun terkait hak Allah di mana ia terlambat menunaikannya maka cukup
ditebus dengan bertaubat dan istighfar.[8]
Dan ulama pun sepakat apabila batas
akhir waktunya telah lewat, maka zakat itu kehilangan makna hakikinya, dan
berubah menjadi sedekah sunnah biasa.
Sedangkan untuk zakat maal, jika
batas waktu pembayarannya telah lewat, maka mayoritas ulama sepakat wajibnya ia
membayar zakatnya dengan cepat ( al faur) dan tidak boleh ditunda-tunda.
Bahkan jika yang bersangkutan meninggal dunia, ahli warisnya wajib mengqadha’
kewajiban zakatnya yang tertunda atau yang belum dibayarkan.[9]
Ketujuah: Dari sisi jenis
Berdasarkan latar belakang
dikeluarkannya zakat sebagaimana penjelasan sebelumnya, maka kita dapat
membedakan jenis harta apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya antara zakat
maal dan zakat fitrah.
Untuk zakat maal, ada beberapa jenis
harta yang ulama sepakat untuk dikeluarkan darinya zakat dan ada pula beberapa
jenis harta yang masih terbuka ruang perdebatan. Adapun jenis harta yang ulama
telah berijma’/sepakat untuk dikeluarkan darinya zakat adalah hewan ternak
(unta, sapi dan kambing), emas dan perak, barang dagangan, barang temuan (rikaz),
barang tambang (ma’din) dan hasil pertanian berupa kurma, anggur,
kedelai dan gandum.
Sedangkan jenis-jenis harta yang
diperselisihkan ulama untuk dikeluarkan zakatnya antara lain; madu,
barang-barang berharga yang dihasilkan dari laut, gaji dari sebuah profesi,
harta dari baitul maal, omset perusahaan/usaha kolektif, surat-surat berharga
(saham, obligasi dan sertifikat investasi), perdagangan mata uang, investasi
properti. asuransi syariah dll.[10]
Adapun untuk zakat fitrah maka para
ulama sepakat bahwa yang dikeluarkan adalah makanan pokok yang dimakan penduduk
setempat. Hal ini berdasarkan hadits dari Abi Said Al Khudhri RA, ia berkata
," Kami mengeluarkan zakat
fithrah ketika dahulu Rasulullah bersama kami sebanyak satu shaa' tha'aam
(hinthah),atau satu shaa' kurma, atau satu shaa' sya'ir, atau satu shaa' zabib,
atau satushaa' aqith. Dan aku terus mengeluarkan zakat fithr sedemikian itu
selama hidupku ". (HR. Jamaah).
Meskipun dalam hal ini kalangan
Hanafiyyah menyendiri dari mazhab jumhur di mana mereka membolehkan membayar
zakat fitrah dengan uang senilai bahan makanan pokok yang wajib dibayarkan.
Pendapat ini juga didukung oleh Abu Tsaur, Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan
Al-Bashri, Abu Ishak, dan Atha’ bin Abi Rabbah.[11]
Kedelapan: Dari sisi kriteria orang
yang wajib mengeluarkannya
Ulama sepakat bahwa syarat
orang-orang yang wajib membayar zakat maal adalah baligh, berakal, muslim,
merdeka, tahu tentang kewajiban zakat, dan hartanya telah memenuhi syarat wajib
dikeluarkan darinya zakat serta mampu menyerahkannya.
Sedangkan terkait harta yang
dimiliki anak kecil, orang gila, murtad, orang yang bodoh tentang kewajiban
zakat dan orang yang terhalang untuk menyerahkan zakatnya maka dalam hal ini
terjadi silang pendapat di antara ulama. [12]
Adapun kriteria orang-orang yang
wajib membayar zakat fitrah, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa zakat ini
diwajibkan atas setiap muslim, merdeka dan mampu mengeluarkannya atas dirinya
sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggungannya; istri, anak, pembantu, dll.
Hal ini berdasarkan hadit berikut:
فَرَضَ رَسُولُ اللهِ زَكَاةَ
الفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلىَ الناَّسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ
شَعِيْرٍ عَلىَ كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْأُنْثَى مِنَ المـسْلِمِين
“ Dari Abdullah bin Umar RA bahwa
Rasulullah SAW memfardhukan zakat fithrah bulan Ramadhan kepada manusia sebesar
satu shaa' kurma atau sya'ir, yaitu kepada setiap orangmerdeka, budak,
laki-laki dan perempuan dari orang-orang muslim. ” (HR. Jamaah kecuali Ibnu
Majah dari Ibnu Umar RA)
Sedangkan kalangan As Syafi’iyyah
tidak mensyaratkan muslim, namun orang kafir pun wajib mengeluarkannya untuk
kaum muslimin. Sedangkan kalangan Al Hanabilah tidak mensyaratkan merdeka, di
mana bagi mereka hamba sahaya yang mampu juga diwajibkan membayar zakat fitrah.
[13]
Kesembilan: Dari sisi masharif atau
orang-orang yang berhak mendapatkannya
Para ulama sepakat bahwa orang-orang
yang berhak mendapatkan zakat maal terbatas pada delapan golongan yang tertuang
dalam firman Allah SWT berikut:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ
وَالمـسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالمـؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي
الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً
مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak,orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana .” (QS.At-Taubah : 60)
Meskipun di antara ulama terjadi
perbedaan terkait rincian kedelapan golongan tersebut serta cara pembagiannya,
apakah wajib dengan cara merata (1/8 untuk setiap golongan) atau diperbolehkan
untuk melebihkan satu golongan atas golongan yang lain sesuai kondisi. [14]
Sedangkan untuk zakat fitrah, ada
tiga pendapat terkait hal ini:
Pertama , jumhur ulama yangmembolehkan untuk
membagikan zakat fitrah kepada delapan golongan sebagaimana zakat maal.
Kedua , Al Malikiyyah, riwayat imam Ahmad dan Ibnu
Taimiyyah yang berpendapat bahwa zakat fitrah hanya boleh diserahkan kepada
fakir dan miskin berdasarkan hadits, “ Rasulullah SAW memfardhukan zakat
fitrahsebagai pensuci orang-orang yang berpuasa dari perbuatan-perbuatan
takbermanfaat dan perkataan yang jelek (saat berpuasa), serta sebagai makanan
bagiorang-orang miskin...” (HR. Abu Daud).
Dan ketiga, Asy Syafi’iyyah yang
berpendapat wajibnya zakat fitrah dibagikan kepada delapan golongan atau
golongan yang ada di antara mereka.[15]
[3] Az
Zaila’i 1/307, Ibnu‘Abdin 2/110, Fath Al Qadir 2/30, Bulghah
As Salik 1/200, Syarh Al Minhaj 1/628, Kasysyaf Al Qinna’
1/471
[6] Lihat: Badai’
2/13, Hasyiah Ad Dasuqi 1/431,Al Majmu’ 5/361, Nihayah
AlMuhtaj 3/63, Al Mughni 2/625.
[9] Al
Badai’ 2/212, Ibnu Abdin 1/514, 2/121-130, 5/96, Al Haththab
2/543-544, Al Furuq 2/205,3/18,Kasyf Al Asrar 1/150.
[10] Al
Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah , entri: zakat, Seri Fiqih
Kehidupan Ust Ahmad Sarwat, bab Zakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar