Selasa, 30 Desember 2014

Perbedaan Antara Zakat Maal dan Zakat Fitrah


Perbedaan Antara Zakat Maal dan Zakat Fitrah (2)


Zakat merupakan salah satu dari rukun/pondasi ajaran Islam. Terkhusus pada aspek ekonomi, di mana salah satu tujuan syariah (maqashid asy syariah) adalah terkait dengan penjagaan sumberdaya ekonomi umat. lalu, bagaimanakah hakikat zakat tersebut? apakah kewajiban zakat yang dibebankan kepada umat Islam, hanya zakat fitrah yang rutin ditunaikan setiap bulan Ramadhan? silakan menyimak tulisan berikut.
9 Perbedaan Antara Zakat Maal dan Zakat Fitrah
Fenomena berzakat di Bulan Ramadhan bagi masyarakat muslim di Indonesia, tampaknya sebagai sebuah hal yang mentradisi. Tak lain sebabnya karena memang pada bulan ini, selain diwajibkan untuk berpuasa, namun ada pula kewajiban lainnya yaitu menunaikan zakat fitrah.
Hanya saja, menurut pengamatan penulis, timbul sebuah kekeliruan dalam memahami konsep zakat yang hendak ditunaikan. Sebagian muslim memahami bahwa zakat yang ditunaikan berupa zakat fitrah merupakan kewajiban zakat yang banyak disebutkan dalam Al Qur’an dan sering disandingkan dengan kewajiban shalat lima waktu dan menjadi salah satu dari rukun Islam yang lima.
Namun karena salah memahami hakikat zakat yang pada masa khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq orang-orang yang menolak membayarkannya diperangi, mereka merasa cukup hanya dengan membayar zakat fitrah yang hanya 2,5 kg beras per jiwa.
Dan hal itu diyakini sebagai satu-satunya kewajiban zakat yang diwajibkan dalam agama atas mereka. Padahal kewajiban seorang muslim yang mampu terkait dengan harta yang wajib ditunaikan zakatnya mencakup dua jenis zakat; zakat maal (zakat atas harta yang memenuhi kriteria untuk dikeluarkan zakatnya) dan zakat fitrah (zakat atas setiap jiwa).
Beberapa Perbedaan Antara Zakat Maal dan Zakat Fitrah
Berikut beberapa perbedaan antara zakat maal dan zakat fitrah serta beberapa ketentuan fiqih terkait keduanya:
Pertama: Dari sisi pengertian dan sebab penamaan
Dari sisi pengertian etimologis, zakat maal menurut para ulama adalah setiap harta yang berdasarkan kriteria tertentu wajib dikeluarkan zakatnya. [1]
Meskipun para ulama mendefinisikannya dengan redaksi yang berbeda, namun setidaknya dapat disimpulkan bahwa mereka sepakat dari sisi penamaan zakat ini dengan zakat maal, yaitu terkait dengan jenis-jenis harta (maal) yang wajib dikeluarkan jika telah memenuhi syarat-syaratnya kepada yang berhak.
Sedangkan pengertian zakat fitrah menurut istilah adalah ”Sedekah yang diwajibkan berkenaan dengan berbuka (al fithr) dari Ramadhan.” [2]
Dari definisi zakat maal dan zakat fitrah di atas dapat disimpulkan bahwa kedua jenis zakat tersebut memiliki definisi yang berbeda karena disebabkan latar belakang dikeluarkannya kedua zakat tersebut. Jika zakat maal dikeluarkan zakatnya dikarenakan adanya harta yang telah ditentukan syariat jenis-jenis serta batasan-batasannya. Sedangkan zakat fitrah dikeluarkan karena menandai berakhirnya ibadah puasa ramadhan dengan berbuka (ifthar) darinya.
Kedua: Dari sisi dalil pensyariatan
Kewajiban zakat maal telah ditetapkan oleh Al Quran, As-Sunnah dan juga ijma’ seluruh umat Islam. Al Quran dan As Sunnah meyebut kewajiban ini dengan beberapa istilah seperti, zakat, shadaqah, al haqq, an nafaqah, dan al ’afwu. Di antaranya firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW berikut:
وَأَقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَآتُواالزَّكَاةَ
Kerjakanlah shalat dan tunaikanlah zakat “ (QS. Al-Baqarah : 43)
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.? ” (QS. At-Taubah :103).
وَآتُوْا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
Dan tunaikanlah haknya (zakatnya) pada hari panennya.” (QS.Al-An'am : 141)
بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلىَ خَمْسٍ...مِنْهَا إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ
Islam ditegakkan di atas lima pijakan, (salah satunya) adalah menunaikan zakat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
أَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلىَ فُقَرَائِهِمْ
Beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan mereka mengeluarkan shadaqah (zakat) dari sebagian harta mereka.” (HR. Bukhari)
Dan jenis zakat inilah yang dalam sejaranya pernah ditolak oleh beberapa kabilah Arab pasca wafatnya Rasulullah SAW hingga akhirnya para shahabat Nabi sepakat untuk memerangi mereka, sebagaimana dialog antara Abu Bakar RA dan Umar RA berikut:
وَاَللَّهِ لأَقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ فَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ المـال. وَاَللَّهِ لَوْ مَنَعُونِي عَنَاقًا كَانُوا يُؤَدُّونَهَا إِلَى رَسُول اللَّهِ لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهَا. قَال عُمَرُ: فَوَاَللَّهِ مَا هُوَ إِلاَّ أَنْ قَدْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَعَرَفْتُ أَنَّهُ الْحَقُّ.
”Demi Allah, aku pasti memerangi mereka yang membedakan antara shalat dan zakat. Sebab zakat adalah hak harta. Demi Allah, seandainya mereka menolak membayar seekor kambing muda yang dahulu pernah dibayarkannya kepada Rasulullah SAW, pastilah aku perangi”. Umar radhiyallahu anhu berkata,"Demi Allah, sungguh Allah telah melapangkan dada Abu Bakar radhiyallahuanhu, maka barulah aku tahu bahwa hal itu memang benar.” (HR. Bukhari Muslim Abu Daud Tirmizi Nasai Ahmad).
Sedangkan dalil pensyariatan zakat fitrah umumnya berasalkan dari sabda Rasulullah SAW. Di mana secara khusus nabi menyebutnya dengan istilah zakat fitrah. Sebagaimana perkataan Ibnu Umar RA berikut:
فَرَضَ رَسُولُ اللهِ زَكَاةَ الفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلىَ الناَّسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلىَ كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ المـسْلِمِين
Rasulullah SAW memfardhukan zakat fithrah bulan Ramadhan kepada manusia sebesar satu shaa' kurma atau sya'ir, yaitu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki dan perempuan dari orang-orang muslim.” (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah dari Ibnu Umar RA).
أَدُّوا عَنْ كُل حُرٍّ وَعَبْدٍ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ شَعِيرٍ
Bayarkan untuk tiap-tiap orang yang merdeka, hamba, anak kecil atau orang tua berupa setengah sha' burr, atau satu sha' kurma atau tepung sya'ir .” (HR. Ad-Daruquthni).
كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ إِذْ كَانَ فِينَا رَسُول اللَّهِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْصَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ فَلاَ أَزَال أُخْرِجُهُ كَمَا كُنْتُ
Kami mengeluarkan zakat fithr ketika dahulu Rasulullah bersama kami sebanyak satu shaa' tha'aam (hinthah),atau satu shaa' kurma, atau satu shaa' sya'ir, atau satu shaa' zabib, atau satushaa' aqith. Dan aku terus mengeluarkan zakat fithr sedemikian itu selama hidupku" . (HR. Jamaah dari Abi Said Al-Khudhri RA).
Ketiga: Dari sisi hukum taklifi
Tidak ada perbedaan di antara ulama terkait hukum zakat maal. Di mana zakat ini merupakan salah satu rukun Islam yang lima yang diwajibkan atas setiap kaum muslimin yang telah memenuhi syarat-syaratnya.
Sedangkan untuk zakat fitrah, ulama berbeda pendapat tentang kewajiban zakat jenis ini. Jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa hukum melaksanakan zakat fitrah ini adalah fardhu.

Dan yang dimaksud dengan fardhu menurut para ulama adalah sesuatu yang hukumnya wajib untuk dikerjakan, dimana apabila ada orang yang meninggalkan kewajiban itu maka dia berdosa dan diancam siksa yang keras di neraka. Namun pandangan mazhab Al Hanafiyah agak sedikit berbeda.
Mazhab ini mengatakan bahwa hukumnya bukan fardhu melainkan wajib. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam istilah mazhab Al-Hanafiyah, antara fardhu dan wajib terdapat perbedaan. Fardhu adalah sesuatu yang diperintahkan Allah SWT dengan dalil yang qath'i, sedangkan wajib adalah sesuatu yang diperintahkan Allah SWT namun dengan dalil yang zhanni.[3]
Namun pada hakikatnya tidak ada perbedaan yang asasi antara pendapat mazhab Al Hanafiyah dengan pendapat jumhur, bahkan zakat fitrah itu memang wajib atau fardhu untuk dikerjakan. Hanya saja ulama menyatakan bahwa orang-orang yang menolak sebuah kewajiban yang didasari dalil yang qath’i maka label kafir dapat disematkan pada mereka sedangkan kewajiban yang didasari dalil dzanni tidak demikian.
Selain itu, terdapat pendapat yang kurang masyhur dari kalangan Al Malikiyyah yang menyatakan bahwa hukumnya sunnah mu’akkadah. Namun pendapat ini dianggap sangat lemah oleh Ad Dasuqi Al Maliki.[4]
Keempat: Dari sisi hikmah pensyariatan
Umumnya hikmah-hikmah zakat yang disimpulkan ulama masa lalu maupun ulama kontemporer dari dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah ataupun pengalaman, pengamatan dan penelitian mereka berkisar hikmah-hikmah terkait zakat maal. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah:
- Membentengi dan menjaga harta. Sebagaimana sabda Nabi SAW, “Bentengi harta-harta kalian dengan zakat.” (HR. At Thabarani) dan sabdanya, “Tidaklah musnah harta yang ada di daratan atau di lautan kecuali oleh sebab tidak dikeluarkan zakatnya.”(HR. At-Thabarani)
- Menyembuhkan penyakit. Sebagaimana sabda Nabi SAW, ”Sembuhkan orang sakit di antara kalian dengan bersedekah.” (HR. At-Thabarani)
- Menggandakan harta dan pahala. Sebagaiman firman Allah SWT,
Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan pahalanya .” (QS.Ar-Ruum: 38-39). “ Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq : 2-3). ” Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. ” (QS. Al-Baqarah: 261). “ Dan perumpamaan orang-orang yangmembelanjakan hartanya karena mencari keridaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat .” (QS.Al-Baqarah : 265)
- Mensucikan jiwa. Sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya, ” Ambillah sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan diri mereka.” (QS. At-Taubah :103).
- Mencegah bencana. Sabda Rasulullah SAW, “Tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat kecuali Allah memberi bencana dengan kelaparan dan kekeringan”. (HR. At Thabarani).”
Tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat kecuali Allah menahan turunnya hujan.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi).
Tidaklah orang-orang menolak membayar zakat kecuali dicegah dari air hujan dari langit. Kalaulah bukan karena hewan-hewan, maka tidak akan diberi hujan. ” (HR. Ibnu Majah,Al-Baihaqi dan Al-Hakim)
- Ungkapan syukur.
Sedangkan untuk hikmah zakat fitrah, hal ini agak berbeda. Di mana secara khusus dalam salah satu haditsnya, Rasulullah SAW secara gamblang menyebutkan hikmah dan tujuan dari pensyariatan zakat fitrah, yitu sebagai pensuci orang-orang yang berpuasa dari hal-hal yang membatalkan pahala puasa mereka serta sebagai sarana menghadirkan kegembiraan pada hati orang-prang miskin pada hari ied fitri hingga mereka tidak meminta-minta pada saat itu. [5]
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu Abbas, ia berkata:
فَرَضَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ، طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْل الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
Rasulullah SAW memfardhukan zakat fitrah sebagai pensuci orang-orang yang berpuasa dari perbuatan-perbuatan tak bermanfaat dan perkataan yang jelek (saat berpuasa), serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang membayarnya sebelum terlaksananya shalat ied maka itu merupakan zakat yang diterima sedangkan barang siapa yang membayarnya setelah terlaksananya shalat ied maka itu merupakan salah satu dari shadaqah sunnah .” (HR. Abu Daud).
Kelima: Dari sisi waktu pelaksanaan
Dari sisi waktu mengeluarkan zakat maal maka dikenal istilah haul dan waqtul hashad. Haul secara bahasa artinya satu tahun. Terkait dengan zakat, ulama sepakat bahwa haul merupakan salah satu syarat diwajibkannya mengeluarkan zakat yang telah mencapai nishabnya untuk jenis zakat binatang ternak, emas, perak, dan barang dagangan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW,
Tidak ada zakat atas harta sehingga mencapai satu haul/tahun” (HR. Ibnu Majah dari Aisyah RA).[6]
Sedangkan untuk jenis zakat pertanian maka tidak disyaratkan adanya haul namun zakat jenis ini dikeluarkan sejak waktul hashad atau masa penen berdasarkan firman Allah SWT,
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma,tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa dan tidak sama. Makanlah dari buahnya bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya; dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan .” (QS. Al-An'am : 141).
Demikian pula jenis zakat ma’din dan rikaz.[7]
Adapun zakat fitrah maka tidak dikenal kedua istilah tersebut. Dan sesuai dengan namanya, maka zakat fitrah dikeluarkan pada hari fithr, yaitu hari lebaran atau Hari Raya Idul Fithri, pada tanggal 1 Syawwal. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW, “Cukupkan bagi mereka di hari ini”. (HR. Ad-Daruquthny).
Keenam: Dari sisi qadha’
Jika seseorang yang berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah terlambat mengeluarkannya, ulama sepakat bahwa kewajiban itu tetap berlaku, bukannya malah dibatalkan, dan meski dilakukan setelah waktunya lewat. Namun menurut para ulama hal itu tidak disebut sebagai qadha’.
Jadi kewajiban mengeluarkan zakat fithrah ini ibarat orang yang berhutang kepada orang lain. Bila telah jatuh tempo dan belum dibayar tanpa alasan yang benar, dia jelas berdosa. Namun bukan berarti hutang-hutang itu hangus. Hutangnya tetap ada dan tetap harus ditunaikan.
Sebab hal itu merupakan hak hamba lainnya. Adapun terkait hak Allah di mana ia terlambat menunaikannya maka cukup ditebus dengan bertaubat dan istighfar.[8]
Dan ulama pun sepakat apabila batas akhir waktunya telah lewat, maka zakat itu kehilangan makna hakikinya, dan berubah menjadi sedekah sunnah biasa.
Sedangkan untuk zakat maal, jika batas waktu pembayarannya telah lewat, maka mayoritas ulama sepakat wajibnya ia membayar zakatnya dengan cepat ( al faur) dan tidak boleh ditunda-tunda. Bahkan jika yang bersangkutan meninggal dunia, ahli warisnya wajib mengqadha’ kewajiban zakatnya yang tertunda atau yang belum dibayarkan.[9]
Ketujuah: Dari sisi jenis
Berdasarkan latar belakang dikeluarkannya zakat sebagaimana penjelasan sebelumnya, maka kita dapat membedakan jenis harta apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya antara zakat maal dan zakat fitrah.
Untuk zakat maal, ada beberapa jenis harta yang ulama sepakat untuk dikeluarkan darinya zakat dan ada pula beberapa jenis harta yang masih terbuka ruang perdebatan. Adapun jenis harta yang ulama telah berijma’/sepakat untuk dikeluarkan darinya zakat adalah hewan ternak (unta, sapi dan kambing), emas dan perak, barang dagangan, barang temuan (rikaz), barang tambang (ma’din) dan hasil pertanian berupa kurma, anggur, kedelai dan gandum.
Sedangkan jenis-jenis harta yang diperselisihkan ulama untuk dikeluarkan zakatnya antara lain; madu, barang-barang berharga yang dihasilkan dari laut, gaji dari sebuah profesi, harta dari baitul maal, omset perusahaan/usaha kolektif, surat-surat berharga (saham, obligasi dan sertifikat investasi), perdagangan mata uang, investasi properti. asuransi syariah dll.[10]
Adapun untuk zakat fitrah maka para ulama sepakat bahwa yang dikeluarkan adalah makanan pokok yang dimakan penduduk setempat. Hal ini berdasarkan hadits dari Abi Said Al Khudhri RA, ia berkata
," Kami mengeluarkan zakat fithrah ketika dahulu Rasulullah bersama kami sebanyak satu shaa' tha'aam (hinthah),atau satu shaa' kurma, atau satu shaa' sya'ir, atau satu shaa' zabib, atau satushaa' aqith. Dan aku terus mengeluarkan zakat fithr sedemikian itu selama hidupku ". (HR. Jamaah).
Meskipun dalam hal ini kalangan Hanafiyyah menyendiri dari mazhab jumhur di mana mereka membolehkan membayar zakat fitrah dengan uang senilai bahan makanan pokok yang wajib dibayarkan. Pendapat ini juga didukung oleh Abu Tsaur, Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan Al-Bashri, Abu Ishak, dan Atha’ bin Abi Rabbah.[11]
Kedelapan: Dari sisi kriteria orang yang wajib mengeluarkannya
Ulama sepakat bahwa syarat orang-orang yang wajib membayar zakat maal adalah baligh, berakal, muslim, merdeka, tahu tentang kewajiban zakat, dan hartanya telah memenuhi syarat wajib dikeluarkan darinya zakat serta mampu menyerahkannya.
Sedangkan terkait harta yang dimiliki anak kecil, orang gila, murtad, orang yang bodoh tentang kewajiban zakat dan orang yang terhalang untuk menyerahkan zakatnya maka dalam hal ini terjadi silang pendapat di antara ulama. [12]
Adapun kriteria orang-orang yang wajib membayar zakat fitrah, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa zakat ini diwajibkan atas setiap muslim, merdeka dan mampu mengeluarkannya atas dirinya sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggungannya; istri, anak, pembantu, dll. Hal ini berdasarkan hadit berikut:
فَرَضَ رَسُولُ اللهِ زَكَاةَ الفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلىَ الناَّسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلىَ كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْأُنْثَى مِنَ المـسْلِمِين
Dari Abdullah bin Umar RA bahwa Rasulullah SAW memfardhukan zakat fithrah bulan Ramadhan kepada manusia sebesar satu shaa' kurma atau sya'ir, yaitu kepada setiap orangmerdeka, budak, laki-laki dan perempuan dari orang-orang muslim. ” (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah dari Ibnu Umar RA)
Sedangkan kalangan As Syafi’iyyah tidak mensyaratkan muslim, namun orang kafir pun wajib mengeluarkannya untuk kaum muslimin. Sedangkan kalangan Al Hanabilah tidak mensyaratkan merdeka, di mana bagi mereka hamba sahaya yang mampu juga diwajibkan membayar zakat fitrah. [13]
Kesembilan: Dari sisi masharif atau orang-orang yang berhak mendapatkannya
Para ulama sepakat bahwa orang-orang yang berhak mendapatkan zakat maal terbatas pada delapan golongan yang tertuang dalam firman Allah SWT berikut:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالمـسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالمـؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak,orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana .” (QS.At-Taubah : 60)
Meskipun di antara ulama terjadi perbedaan terkait rincian kedelapan golongan tersebut serta cara pembagiannya, apakah wajib dengan cara merata (1/8 untuk setiap golongan) atau diperbolehkan untuk melebihkan satu golongan atas golongan yang lain sesuai kondisi. [14]
Sedangkan untuk zakat fitrah, ada tiga pendapat terkait hal ini:
Pertama , jumhur ulama yangmembolehkan untuk membagikan zakat fitrah kepada delapan golongan sebagaimana zakat maal.
Kedua , Al Malikiyyah, riwayat imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah yang berpendapat bahwa zakat fitrah hanya boleh diserahkan kepada fakir dan miskin berdasarkan hadits, “ Rasulullah SAW memfardhukan zakat fitrahsebagai pensuci orang-orang yang berpuasa dari perbuatan-perbuatan takbermanfaat dan perkataan yang jelek (saat berpuasa), serta sebagai makanan bagiorang-orang miskin...” (HR. Abu Daud).
Dan ketiga, Asy Syafi’iyyah yang berpendapat wajibnya zakat fitrah dibagikan kepada delapan golongan atau golongan yang ada di antara mereka.[15]
 
[1] Lihat Maraqi Al Falah h. 121, Ad Dur Al Mukhtar 2/2, Al Mughni 2/572
[2] Hasyiah Asy Syibli ‘ala Az Zayla’i wa Syarh Az Zayla’i 1/306, Nayl Al Maarib 1/255
[3] Az Zaila’i 1/307, Ibnu‘Abdin 2/110, Fath Al Qadir 2/30, Bulghah As Salik 1/200, Syarh Al Minhaj 1/628, Kasysyaf Al Qinna’ 1/471
[4] Hasyiah Ad Dasuqi 1/504, Mughni Al Muhtaj 1/401.
[5] Al Mughni 3/56.
[6] Lihat: Badai’ 2/13, Hasyiah Ad Dasuqi 1/431,Al Majmu’ 5/361, Nihayah AlMuhtaj 3/63, Al Mughni 2/625.
[7] Badai’ 2/63-67, Hasyiah AdDasuqi 1/451-457, AlMajmu’ 5/361, Qalyubi 2/19-25, Al Mughni 2/625.
[8] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah , 23/341.
[9] Al Badai’ 2/212, Ibnu Abdin 1/514, 2/121-130, 5/96, Al Haththab 2/543-544, Al Furuq 2/205,3/18,Kasyf Al Asrar 1/150.
[10] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah , entri: zakat, Seri Fiqih Kehidupan Ust Ahmad Sarwat, bab Zakat.
[11] Al Mughni , 3/65.
[12] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah , 23/231-234.
[13] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah ,23/336-337.
[14] lihat: Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah,23/329-330.
[15] Hasyiah Ibnu Abdin 2/79, Hasyiah Ad Dasuqi 1/508, MughniAl Muhtaj 3/116, Al Furu’ 2/540.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar