احكام زكاة الفطر فى مذهب الشافعى
Problematika Zakat Fitrah
A. Zakat Fitrah Kepada Kyai, Masjid dan Sebagainya.
Berikut ini
penulis sajikan pembahasan tentang berbagai makna sabilillah menurut
beberapa ulama yang kemudian menjadi landasan di perbolehkannya memberikan
zakat kepada kyai, masjid, pondok, madrasah dan sebagainya.
Sabilillah, pada dasarnya adalah orang yang
berperang di jalan Allah dan tidak mendapatkan gaji. Mereka mendapatkan bagian
zakat sesuai dengan kebutuhan dirinya dan keluarganya selama berangkat, pulang
dan mukim, sekalipun dia termasuk orang kaya. Apabila tidak jadi berperang maka
dia harus mengembalikan zakat yang telah dia terima, demikian pula harus
mengembalikan kelebihannya setelah berperang.[1][1]
Perbedaan pandangan tentang pemberian zakat fitrah
kepada selain golongan yang telah di tetapkan dalam al-Qur’an menjadi
permasalahan yang pelik, disisi lain praktek tersebut sudah banyak terjadi di
kalangan masyarakat kita. Seperti dalam permasalahan mentasarufkan zakat kepada
masjid, madrasah, pondok pesantren, panti asuhan, guru ngaji atau (kyai),
yayasan sosial atau keagamaan dan yang lainnya. Hal tersebut pada hakikatnya
tidak terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan fuqaha (ahli fiqh) dalam
memaknai kata sabilillah dalam al-Qur’an (at-Taubah :30).
Imam Syihabuddin al-Qasthalani misalnya berpendapat
bahwa Ahli Sabilillah adalah mereka yang berperang yang bersuka rela
dalam berjihad walaupun mereka itu kaya, karena untuk membantu mereka dalam
berjihad. Termasuk ahli sabilillah adalah para penuntut ilmu atau
pelajar yang mempelajari ilmu syara' , orang-orang yang mencari kebenaran,
orang yang menuntut keadilan, menegakkan kejujuran, orang-orang yang ahli
memberi nasehat, memberi bimbingan dan orang yang membela agama yang lurus.[2][2]
Imam Kasani memaknai sabililah dengan semua
jalan ibadah, termasuk pula orang-orang yang berjuang dalam ketaatan kepada
Allah, dan menegakan kebaikan dengan catatan apabila memang membutuhkan
pembagian zakat, karena makna sabilillah mencakup semua sektor kebaikan.
Sebagian ulama Hanafiyah juga ada yang memaknai sabilillah adalah orang-orang
yang mencari ilmu walaupun kaya.[3][3]
Imam al-Qaffal menukil dari sebagian ahli fiqih, bahwa
mereka memperbolehkan mentasarufkan zakat kepada segala sektor kebaikan (wujuh
al-Khair) seperti mengkafani mayat, membangun pertahanan, membangun
masjid dan sebagainya, Karena kata-kata sabilillah dalam Al-Qur'an
(at-Taubah:60) itu mencakup umum (semuanya).[4][4]
Untuk
mengetahui hukum selengkapnya tentang memberikan zakat kepada selain golongan
yang sudah tercantum dalam al-Qur’an, berikut ini penulis kemukakan Hasil
Bahtsul Masa’il PWNU Jatim tanggal 9 Oktober 2010 di PP. Al-Hikam Bangkalan
Madura
Deskripsi
Masalah:
Beberapa
tahun belakangan ini, kian terlihat bertambah kencang polemik dan perselisihan
dikalangan warga NU dibeberapa daerah dalam hal penerapan golongan sabilillah
dalam asnaf mustahiq zakat. Hal ini dipicu karena ketidakseragaman dasar mereka
dari hasil keputusan hukum yang disosialisasikan oleh jam’iyah NU secara
kelembagaan. Sebagaimana diketahui dari penuturan ulama’ salaf (madzhab
al-arba’ah) bahwa yang dimaksud sabilillah dalam asnaf mustahiq
zakat adalah ghuzzat (para
tentara perang sabil). Terkecuali wacana
pendapat yang telah dinuqil oleh Imam al-Qaffal dari sebagian ulama yang
menyatakan bahwa kata sabilillah itu bisa bermakna luas mencakup seluruh
jalur sektor kebaikan (wujuh al-Khair).
Sejak awal berdiri, NU sudah mengambil langkah tegas
dan antisipasi melalui keputusan no.5 dalam Muktamar NU pertama di Surabaya
tanggal 21 oktober 1926, bahwa: “Tidak diperbolehkan mentasharufkan zakat untuk
pendirian masjid, madrasah atau pondok-pondok dengan mengatasnamakan sabilillah
dengan berdasar pada kutipan Imam al-Qaffal, sebab pendapat yang dikutip Imam
al-Qaffal tersebut adalah dha’if”. (lihat Ahkamul Fuqoha’: 1/09 – CV. Toha
Putra Semarang 1960). Namun, hasil keputusan masalah serupa diambil oleh PWNU
jatim di era-era berikutnya ternyata berbicara lain. Dalam data hasil keputusan
Bahtsul Masa’il PWNU yang dilaksanakan di PP. An-Nur Tegalrejo Nganjuk tahun
1981, di PPAI Ketapang Malang tahun 1987 dan di PP. Langitan Tuban tahun 1988.
Semuanya menyimpulkan bahwa :
“Hukumnya ada dua alternatif, yakni tidak boleh dengan merujuk keputusan Muktamar
1926 dimaksud. Dan yang kedua diperbolehkan dengan dasar mengikuti pendapat
kutipan Imam al-Qaffal dan fatwa Syekh Moh. Ali Al-Maliki dan ulama-ulama yang
lain”. (lihat CD hasil keputusan Bahtsul Masail PWNU Jatim 1979-1994, 1996 dan
2002).
Pertanyaan:
Pendapat
siapakah sebenarnya yang dikutip oleh Imam Qoffal tersebut? Dan seberapa
mu’tabar pendapatnya dalam takaran madzhab? (PCNU Sidoarjo).
Jawaban:
Belum
diketahui secara pasti siapa yang dimaksud oleh Imam al-Qaffal tersebut, namun
ada kemungkinan besar mengarah pada Imam Hasan dan Imam Anas bin Malik.
Sedangkan pendapat tersebut menurut Jumhur al-ulama (mayoritas
ulama) tidak mu'tabar. Pendapat ini
didukung oleh mufti Hadramaut karena pendapat tersebut di luar lingkup madzhab
empat. Namun ada juga yang sependapat dengan pendapat kutipan Imam al-Qaffal,
seperti Syeikh Hasanain Makhluf dan ulama mu'ashirin Mesir yang memfatwakan dan
memilih pendapat tersebut.[5][5]
B. Zakat
Fitrah dengan Uang.
Konsep dasar dalam mengeluarkan
zakat fitrah adalah dengan makanan poko di setiap daerah, bukan dengan uang
seharga makanan tersebut (qimah).[6][6] Dalam kajian fiqh
mengeluarkan zakat fitrah dengan uang di warnai perbedaan pendapat di kalangan
fuqaha’. Menurut Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibn
Mundzir bahwa mengeluarkan zakat fitrah dengan uang tidak di perbolehkan. Hal
ini berbeda dengan pendapatnya Imam Abu
Hanifah yang mengatakan boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan uang (seharga)
makanan tersebut. Sementara Imam Ishaq dan Imam Abu Tsaur tidak memperbolehkan
kecuali dalam keadaan dharurat.[7][7]
Menurut Imam Abu Hanifah, mengeluarkan zakat fitrah
dengan uang itu lebih efektif, karena dengan uang ,penerima zakat akan
mendapatkan kemudahan dalam mewujudkan keinginanannya, dan yang terpenting lagi
kata Imam Abu Hanifah bahwa tujuan dari yang wajib dari membayar atau
mengeluarkan zakat adalah memberi kecukupan bagi para orang yang membutuhkan (ighna’
al-fuqara’).[8][8]
Imam Ibnu Hajar al-Haitami dan Imam
al-Bulqini dari kalangan ulama
Syafi’iyyah dan beberapa ulama yang lain, cenderung membenarkan pendapat
yang di fatwahkan oleh Imam Abu Hanifah
berkaitan dengan bolehnya mengeluarkan zakat fitrah dengan uang (seharga makanan).
Dan ternyata pendapat para ulama-ulama ini boleh di ikuti atau taqlid
,mengingat kapasitas mereka di akui sebagai ulama ahli tarjih dan ahli takhrij.[9][9]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bantani , Nawawi, Tafsir
al-Munir, Semarang: Maktabah Toha Putera,[tth].
Al-Mashri, Musthafa Muhammad ‘Imarah
Jawahir al-Bukhari,[Maktabah
Syamilah].
Al-Nawawi,
Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf, al-Majmu’ Syarah al-Muhaddzab,Beirut:Dar
al-Fikr,1997.
As-Saqaf ,Sayid 'Alawi Ahmad,Tarsyih al-Mustafidin.
[Maktabah Syamilah].
Al-Zuhayli, Wahbah, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu,
Beirut: Dar al-Fikr, [tth].
Hasil Bahtsul Masa’il PWNU Jatim tanggal 9 Oktober
2010,PP. Al-Hikam Bangkalan Madura.
Syatha, Abu Bakar, I’anah
at-Thalibin, Beirut: Dar
al-Fikr,1993.
[1][8] Wahbah al-Zuhayli,op.cit.,huz
ii,hlm..909-901.
قال الحنفية تجب زكاة الفطر من أربعة أشياء
الحنطة والشعير والتمر والزبيب وقدرها نصف صاع من حنطة أو صاع من شعير أو تمر أو
زبيب والصاع عند أبي حنيفة ومحمد ثمانية أرطال بالعراقي، والرطل العراقي مئة
وثلاثون درهماً، ويساوي 3800 غراماً؛ لأنه عليه السلام كان يتوضأ بالمد رطلين،
ويغتسل بالصاع ثمانية أرطال وهكذا كان صاع عمر رضي الله عنه وهو أصغر من الهاشمي،
وكانوا يستعملون الهاشمي.. إلى أن قال.. دفع القيمة: ويجوز عندهم أن يعطي عن جميع
ذلك القيمة دراهم او دنانير او فلوسا او عروضا او ما شاء لأن الواجب في الحقيقة
إغناء الفقير لقوله صلى الله عليه وسلم اغنوهم عن المسألة في مثل هذا اليوم
والإغناء يحصل بالقيمة بل اتم واوفر وايسر لأنها اقرب الى دفع الحاجة فتبين ان
النص معلل بالإغناء اهـ
[1][9 Sedangkan
waktu melaksanakan atau mengeluarkan zakat fitrah terbagi menjadi 5 yakni :
1)
Waktu
jawaz : mulai awal puasa Ramadhan (ta’jil) sampai awal bulan syawal,
dan tidak boleh mengeluarkan zakat sebelum awal puasa Ramadhan.
2)
Waktu
wajib : mulai terbenamnya matahari akhir Ramadhan (menemui sebagian
Ramadhan) sampai 1 syawal (menemui
sebagian syawal).
3)
Waktu sunnat
: setelah fajar dan sebelum di laksanakan shalat hari raya Idul fitri.
4)
Waktu makruh
: setelah pelaksanaan shalat idul fitri sampai tenggelamnya matahari pada
tanggal 1 Syawal. Zakat fitrah yang di keluarkan setelah shalat hari raya
hukumnya makruh, jika tidak ada udzur. Namun apabila mengakhirkannya terdapat
udzur, semisal menanti kerabat dekat ,tetangga ,orang yang lebih utama atau
orang yang lebih membutuhkan, maka hukumnya tidak makruh.
5)
Waktu haram
: setelah tenggelamnya matahari pada
tanggal 1 Syawal (malam 2 syawal). Apabila seseorang mengakhirkan pelaksanaan
zakat fitrah sehingga keluar dari tanggal 1 Syawal maka hukumnya haram jika
tanpa adanya udzur, dan status zakat fitrah yang dikeluarkan adalah qadha’
dengan segera (qadha’ ‘ala al-faur). Namun Jika pengakhiran tersebut
karena adanya udzur, semisal menunggu hartanya yang tidak ada ditempat, atau
menunggu orang yang berhak menerima zakat maka hukumnya tidak haram.[10][9]
Sayid 'Alawi Ahmad
As-Saqaf ,Tarsyih al-Mustafidin. (Maktabah Syamilah),hlm.15
أَهْلُ سَبِيْلِ اللهِ الْغُزَاةُ
الْمُتَطَوِّعُوْنَ بِالْجِهَادِ وَإِنْ كَانُوْا أَغْنِيَاءَ، إِعَانَةً عَلَى
الْجِهَادِ. وَيَدْخُلُ فِيْ ذَلِكَ طَلَبَةُ الْعِلْمِ الشَّرْعِيِّ وَرُوَّادُ
الْحَقِّ وَطُلاَّبُ الْعَدْلِ وَمُقِيْمُوا اْلإِنْصَافِ وَالْوَعْظِ وَاْلإِرْشَادِ
وَنَاصِرُوا الدِّيْنِ الْحَنِيْف
.
[3][3] Wahbah al-Zuhayli, Fiqh
al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), juz ii ii,hlm.876
أتفق جماهير فقهاء المذاهب على أنه لا يجوز صرف
الزكاة إلى غير من ذكر الله تعالى من بناء المساجد ونحو ذلك من القرب التى لم
يذكرها الله تعالى مما لا تمليك فيه: لأن الله سبحانه وتعالى قال (إنما الصدقات
للفقرء) وكلمة إنما للحصر والإثبات. ثبت المذكور وتنقضى ما عداه فلا يجوز صرف
الزكاة إلى هذه الوجه: لأنه لم يوجد التمليك اصلا، لكن فسر الكسانى فى البدائع
سبيل الله بجميع القرب فيدخل فيه كل من سعى فى طاعة الله وسبيل الخيرات إذا كان
محتاجا لأن فى سبيل الله عام فى الملك اى يشمل عمارة المسجد ونحوها مما ذكر وفسر
بعض الحنيفية "فى سبيل الله" بطلب العلم ولو كان الطلب عنيا
[4][4] An-Nawawi al-Bantani , Tafsir
al-Munir (Semarang: Toha Putera, tth),juz i, hlm.244.
(فى سبيل الله) ويجوز
للغازى ان يأخذ من مال الزكاة وإن كان غنيا كما هو مذهب الشافعية ومالك واسحق وقال
أبو حنيفة وصاحباه لا يعطى إلا إذا كان محتاجا ونقل القفال عن بعض الفقهاء أنهم
اجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة
المسجد لان قوله تعالى فى سبيل الله عام فى الكل
1)
Hasanain Muhammad Makhluf, Fatawi Syar'iyyah Wa Buhuts Islamiyah hlm
: 255
فتاوى شرعية وبحوث إسلامية حسنين محمد مخلوف
ص 255
(الجواب) إن من مصارف الزكاة الثمانية المذكورة فى قوله تعالى:
{إنما الصدقات للفقراء} إلى آخر الآية إنفاقها {فى سبيل الله} وسبيل الله عام يشمل
جميع وجوه الخير للمسلمين من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد وتجهيز
الغزاة فى سبيل الله، وما أشبه ذلك مما فيه مصلحة عامة للمسلمين كما درج عليه بعض
الفقهاء واعتمده الإمام القفال من الشافعية ونقله عنه الرازى فى تفسيره وهو الذى
نختاره للفتوى. وبناء عليه لا مانع من صرف زكاة النقدين والحبوب والماشية وكذا
زكاة الفطر فى الأغراض المشار إليها فى السؤال لما فيها من المصلحة الظاهرة
للمسلمين خصوصا فى هذه الديار. وأما جلود الأضاحى فلا وجه للتوقف فى صرفها فى هذه
المشروعات التى تعود بالخير على المسلمين إذا تصدق بها المضحون فى ذلك، والله
تعالى أعلم
2)
Fatawa al-Azhar, juz 1 hlm : 139
فتاوى الأزهر -ج 1 /139
جواز صرف الزكاة فى بناء المساجد اطلعنا على
هذا السؤال ونفيد أنه يجوز صرف الزكاة لبناء المسجد ونحوه من وجوه البر التى ليس
فيها تمليك أخذا برأى بعض فقهاء المسلمين الذى أجاز ذلك استدلالا بعموم قوله تعالى
{وفى سبيل اله} من آية {إنما الصدقات للفقراء والمساكين}
الآية وإن كان مذهب الأئمة الأربعة على غير ذلك وما ذكرناه مذكور فى تفسير هذه
الآية للإمام فخر الدين الرازى ونص عبارته (واعلم أن ظاهر اللفظ فى قوله وفى سبيل
اللّه لا يوجب القصر على كل الغزاة فلهذا المعنى نقل القفال فى تفسيره عن بعض
الفقهاء أنهم أجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء
الحصون وعمارة المساجد لأن قوله وفى سبيل اللّه عام فى الكل) انتهت عبارة الفخر
ولم يعقب رحمه اللّه على ذلك بشىء وقد جاء فى المغنى لابن قدامة بعد أن قال ولا
يجوز صرف الزكاة إلى غير من ذكر اللّه تعالى من بناء المساجد والقناطر والجسور
والطرق فهى صدقة ماضية والأول أصح لقوله سبحانه وتعالى إنما الصدقات للفقراء
والمساكين وإنما للحصر والإثبات تثبت المذكور وتنفى ما عداه انتهى وظاهر أن أنسا
والحسن يجيزان صرف الزكاة فى بناء المسجد لصرفها فى عمل الطرق والجسور وما قاله
ابن قدامة فى الرد عليهما غير وجيه لأن ما أعطى فى الجسور والطرق مما أثبتته الآية
لعموم قوله تعالى {وفى سبيل الله} وتناوله بكل وجه من وجوه البر كبناء مسجد وعمل جسر
وطريق. ولذلك ارتضاه صاحب شرح كتاب الروض النضير إذ قال. وذهب من أجاز ذلك أى دفع
الزكاة فى تكفين الموتى وبناء المسجد إلى الاستدلال بدخولهما فى صنف سبيل اللّه إذ
هو أى سبيل اللّه طريق الخير على العموم وإن كثر استعماله فى فرد من مدلولاته وهو
الجهاد لكثرة عروضه فى أول الإسلام كما فى نظائره ولكن لا إلى حد الحقيقة العرفية
فهو باق على الوضع الأول فيدخل فيه جميع أنواع القرب على ما يقتضيه النظر فى
المصالح العامة والخاصة إلا ما خصه الدليل وهو ظاهر عبارة البحر فى قوله قلنا ظاهر
سبيل اللّه العموم إلا ما خصه الدليل انتهت عبارة الشرح المذكور. والخلاصة أن الذى
يظهر لنا هو ما ذهب إليه بعض فقهاء المسلمين من جواز صرف الزكاة فى بناء المسجد
ونحوه فإذا صرف المزكى الزكاة الواجبة عليه فى بناء المسجد سقط عنه الفرض وأثيب
على ذلك واللّه أعلم
3)
Fatawa Abu Bakar, hlm : 70-76
فتاوى أبو بكر باغيثان 76- 70
سئل (س او الإنفاق عليها او اى شيئ من المرافق
العامة والنافعة للمسلمين الى ان قال ......... (فاجاب بقوله ) الحمد لله وصلى
الله على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه الجواب لايجوز صرف الزكاة فى شيئ مما ذكره
السائل من بناء المساجد وعمارتها او بناء المدارس او الإنفاق عليها او غير ذلك من
المشارع الخيرية الى ان قال ..... ولا رحمه الله ) هل تخرج شيئ من زكاة المال اى
النقد فى المشارع الخيرية كبناء مساجد أوعمارتها او بناء مدار نعلم خلافا بين أهل
العلم فى انه لايجوز دفع هذه الزكاة الى غير هذه الأصناف الا ماروى عن انس والحسن
انهما قالا ما أعطيت فى الجسور والطرقات فهى صدقة ماضية الى ان قال ....... رايت
عن السيد محمد رشيد رضا على قول الشرح المذكور لأن سبيل الله عند الإطلاق هو الغزو
ما لفظه هذا غير صحيح بل سبيل الله هو الطريق الموصل الى مرضاته وجنته وهو الإسلام
فى جملته وايات الإنفاق فى سبيل الله تشمل جميع أنواع النفقة المشروعة وماذا يقول
فى ايات الصد والإضلال عن سبيل الله والهجرة فى سبيل الله بل لا يصح ان يفسر سبيل
الله فى أيات القتال نفسها بالغزو وإنما يكون فى سبيل الله اذا اريد به ان نكون
كلمة الله هى العليا ودينه المتبع فسبيل الله فى الأية يعم الغزو الشرعي وغيره من
مصالح الإسلام بحسب لفظه العربى ويحتاج التخصيص الى دليل صحيح انتهى فلعل من قال
بجواز دفع الزكاة الى من ذكر السائل من علماء الأزهر وغيرهم أخذ بقول السيد رشيد
رضا هذا ولكن هذا مخالف لما قاله أهل المذاهب المعمول بها كما رأيته فيما نقلناه
عن الشرح المذكور ثم كثر استعماله فى الجهاد لإنه سبب للشهادة الموصلة الى الله
تعالى ثم وضع على هؤلاء لانهم جاهدوا لا فى مقابل فكانوا افضل من غيرهم وتفسير
أحمد وغيره المخالف لما عليه أكثر العلماء له بالحجج لحديث فيه أجابوا عنه اى بعد
تسليم صحته التى زعمها الحاكم
[7][7] Muhyiddin Abi Zakariya Yahya
bin Syaraf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhaddzab,(Beirut: Dar
al-Fikr,1997),juz vi,hlm.144.
(مسألة ) لا تجزئ
القيمة في الفطرة عندنا . وبه قال مالك وأحمد وابن المنذر . وقال أبو حنيفة يجوز
حكاه ابن المنذر عن الحسن البصري وعمر بن عبد العزيز والثوري قال وقال إسحاق وأبو
ثور لا تجزئ إلا عند الضرورة
[8][8] Wahbah al-Zuhayli,op.cit.,huz
ii,hlm..909-901.
قال الحنفية تجب زكاة الفطر من أربعة أشياء
الحنطة والشعير والتمر والزبيب وقدرها نصف صاع من حنطة أو صاع من شعير أو تمر أو
زبيب والصاع عند أبي حنيفة ومحمد ثمانية أرطال بالعراقي، والرطل العراقي مئة
وثلاثون درهماً، ويساوي 3800 غراماً؛ لأنه عليه السلام كان يتوضأ بالمد رطلين،
ويغتسل بالصاع ثمانية أرطال وهكذا كان صاع عمر رضي الله عنه وهو أصغر من الهاشمي،
وكانوا يستعملون الهاشمي.. إلى أن قال.. دفع القيمة: ويجوز عندهم أن يعطي عن جميع
ذلك القيمة دراهم او دنانير او فلوسا او عروضا او ما شاء لأن الواجب في الحقيقة
إغناء الفقير لقوله صلى الله عليه وسلم اغنوهم عن المسألة في مثل هذا اليوم
والإغناء يحصل بالقيمة بل اتم واوفر وايسر لأنها اقرب الى دفع الحاجة فتبين ان
النص معلل بالإغناء اهـ
[9][9] Sayid 'Alawi Ahmad As-Saqaf
,Tarsyih al-Mustafidin. (Maktabah Syamilah),hlm.151.
[10][9] Nawawi al-Bantani, Nihayah
al-Zain,(Semarang: Toha Putera,tth),hlm.176. lihat juga Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.198.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar