Menyetel
murattal / tilawah adalah aktivitas memperdengarkan rekaman bacaan ayat-ayat
suci al-Qur’an dengan media seperti tape, speaker, mp3 player dan lain
semacamnya. Aktifitas seperti (menyetel murattal / tilawah) merupakan perkara
baru yang baru ada setelah berkembangnya dunia teknologi. Adapun mendengarkan
bacaan al-Qur’an sendiri merupakan hal yang memang dianjurkan dan berpahala.
Dalam
hal ini setidaknya ada 2 permasalahan; Pertama, menyetel/memperdengarkan
rekaman bacaan ayat Al-Qur’an, Kedua, mendengarkan rekaman bacaan ayat
Al-Qur’an. Hal yang dibahas adalah yang pertama, yaitu aktivitas
memperdengarkan/menyetel rekaman bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an dengan
speaker. Namun, terlepas dari bagaimana isi dari rekaman itu sendiri, dan
bagaimana proses merekamnya.
Menyetel
murattal telah menjadi hal yang biasa bagi umat Islam di dunia seiring dengan
berkembangnya teknologi, biasanya ada yang menyetelnya di rumah, di kantor, di
majelis taklim, di mushalla (surau), bahkan juga di masjid.
Pada
asalnya, tidak ada anjuran menyetel murattal dan tidak ada larangan menyetel
murattal. Bahkan tidak ada bahasan seperti ini sebelum berkembangnya dunia
teknologi. Oleh karena itu, masalah ini adalah perkara baru yang mesti
dikembalikan lagi kepada asal permanfaatan (penggunaan) teknologi itu sendiri.
Didalam kaidah ushul dikatakan
الْأَصْلُ فِي
الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى عَدَمِ الْإِبَاحَةِ
“(Hukum) asal mengenai sesuatu adalah boleh (ibahah) hingga ada
dalil yang menunjukkan ketiadaan kebolehan tersebut”
Dari
sini, dapat kita ketahui bahwa penggunaan teknologi adalah boleh (mubah). Dalam
hal ini tape/speaker di masjid. Pada kaidah yang lain dikatakan :
الأصل في الأشياء النافعة
هو الإباحة
“(Hukum) asal mengenai sesuatu yang bermanfaat adalah boleh
(ibahah)”
Permasalahan
berikutnya adalah apakah menyetel/memperdengarkan lantunan ayat-ayat suci
Al-Qur’an itu bermanfaat ataukah tidak ?. Dari sini banyak rinciannya (tafshil),
namun focus bahasan ini adalah memperdengarkan/menyetel murattal dengan speaker
di masjid dan mushalla (surau) sebelum adzan. Jadi, bukan menyetel untuk
didengar sendiri dirumah, menyetel untuk ruqyah, menyetel untuk tanda adanya
bahtsul masaail dan lain sebagainya.
Bermanfaat
Ataukah Tidak ?
Di
Indonesia, menyetel murattal dengan speaker sebelum adzan, baik di mushalla dan
di masjid merupakan hal biasa, masyarakat pun sudah menganggapnya biasa, dan
bertujuan untuk syi’ar atau memberitahukan serta mengingatkan masyarakat bahwa
sebentar lagi akan memasuki waktu shalat atau sebentar lagi adzan akan
dikumandangkan.
Tentunya
hal ini pada dasarnya bermanfaat, sehingga melihat dari tujuannya maka hukumnya
adalah mubah (boleh), alias dibenarkan. Sebagaimana kaidah ushul mengatakan :
لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ
الْمَقَاصِدِ
“Perantara-perantara perbuatan memiliki konsekuensi hukum sesuai
tujuannya”
Al-Wasail
(perantara) merupakan sebuah cara untuk menyampaikan tujuan dari hal tersebut.
Dalam hal ini adalah untuk menyampaikan syiar dan memberitahukan masyarakat
bahwa sebentar lagi akan memasuki waktu shalat atau sebentar lagi adzan akan
dikumandangkan.
Allah
SWT berfirman didalam al-Qur’an :
مَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ
اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah , maka sesungguhnya
itu timbul dari ketakwaan hati”.
Syaikh
Isma’il Utsman Zain al-Yamani al-Makki al-Syafi’i didalam Risalah Taudlih
al-Maqshud setelah membahas panjang lebar mengenai penggunaan pengeras suara,
kemudian menyimpulkan,
والحاصل من جميع ما
ذكرناه ونقلناه في هذه الوريقات أن استعمال مكبّرات الصوت في الأذان وغيره مما
شرعًا، وهذا هو الحق والصواب
“wal hasil dari semua hal yang telah kami sebutkan dan kami
kutipkan dalam lembaran-lembaran ini, adalah bahwa mempergunakan pengeras suara
dalam adzan dan untuk keperluan lainnya dari hal-hal yang dituntut untuk
dikeraskan adalah perkara yang dipuji dalam syara'. Dan ini adalah yang hak dan
yang benar”.
Akan
tetapi, menyetel murattal dengan speaker di masjid dan mushalla juga perlu
sebuah kearifan yakni dengan melihat kondisi masyarakat sekitar, khususnya
sebelum adzan Shubuh.
Sebab,
jika menyebabkan gangguan (tasywis) dan berakibat buruk maka itu dilarang.
Misalnya menyetel murattal di masjid diwaktu sebelum shubuh dengan rentang
waktu yang lama hingga mencapai setengah jam sebelum adzan shubuh. Hal seperti
ini akan mengganggu mereka yang melakukan shalat tahajjud di masjid atau
sekitar masjid.
Berbeda
halnya, dengan waktu-waktu yang lainnya seperti sebelum adzan shalat Jum’at
(hari Jum’at), dan selain waktu shubuh. Hal itu kebanyakan tidak membuat
masyarakat terganggu. Sehingga tidak dijumpai masyarakat melakukan protes
karena mereka terganggu dengan lanturan ayat-ayat suci al-Qur’an melalui
speaker.
Oleh
karena itu, membahas masalah ini haruslah benar-benar arif dengan melihat
kondisi masyarakat itu sendiri, dan dikembalikan lagi kepada persetujuan
masyarakat. [] Wallahu A’lam
Bagaimana jika dirasa mengganggu orang yang sedang shalat dan tidur ?
BalasHapusBagaimana pula jika dihubungkan dengan hadits teguran Nabi saw terhadap orang yang mengeraskan bacaan al-qur'an di masjid ketika ada yang shalat ?