Senin, 16 Maret 2015

Menyetel Murattal atau Tilawah Sebelum Adzan di Masjid dan Mushalla





Menyetel murattal / tilawah adalah aktivitas memperdengarkan rekaman bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an dengan media seperti tape, speaker, mp3 player dan lain semacamnya. Aktifitas seperti (menyetel murattal / tilawah) merupakan perkara baru yang baru ada setelah berkembangnya dunia teknologi. Adapun mendengarkan bacaan al-Qur’an sendiri merupakan hal yang memang dianjurkan dan berpahala.

Dalam hal ini setidaknya ada 2 permasalahan; Pertama, menyetel/memperdengarkan rekaman bacaan ayat Al-Qur’an, Kedua, mendengarkan rekaman bacaan ayat Al-Qur’an.  Hal yang dibahas adalah yang pertama, yaitu aktivitas memperdengarkan/menyetel rekaman bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an dengan speaker. Namun, terlepas dari bagaimana isi dari rekaman itu sendiri, dan bagaimana proses merekamnya.

Menyetel murattal telah menjadi hal yang biasa bagi umat Islam di dunia seiring dengan berkembangnya teknologi, biasanya ada yang menyetelnya di rumah, di kantor, di majelis taklim, di mushalla (surau), bahkan juga di masjid. 

Pada asalnya, tidak ada anjuran menyetel murattal dan tidak ada larangan menyetel murattal. Bahkan tidak ada bahasan seperti ini sebelum berkembangnya dunia teknologi. Oleh karena itu, masalah ini adalah perkara baru yang mesti dikembalikan lagi kepada asal permanfaatan (penggunaan) teknologi itu sendiri. Didalam kaidah ushul dikatakan

الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى عَدَمِ الْإِبَاحَةِ
“(Hukum) asal mengenai sesuatu adalah boleh (ibahah) hingga ada dalil yang menunjukkan ketiadaan kebolehan tersebut”

Dari sini, dapat kita ketahui bahwa penggunaan teknologi adalah boleh (mubah). Dalam hal ini tape/speaker di masjid. Pada kaidah yang lain dikatakan :

الأصل في الأشياء النافعة هو الإباحة
“(Hukum) asal mengenai sesuatu yang bermanfaat adalah boleh (ibahah)”

Permasalahan berikutnya adalah apakah menyetel/memperdengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an itu bermanfaat ataukah tidak ?. Dari sini banyak rinciannya (tafshil), namun focus bahasan ini adalah memperdengarkan/menyetel murattal dengan speaker di masjid dan mushalla (surau) sebelum adzan. Jadi, bukan menyetel untuk didengar sendiri dirumah, menyetel untuk ruqyah, menyetel untuk tanda adanya bahtsul masaail dan lain sebagainya. 

Bermanfaat Ataukah Tidak ?

Di Indonesia, menyetel murattal dengan speaker sebelum adzan, baik di mushalla dan di masjid merupakan hal biasa, masyarakat pun sudah menganggapnya biasa, dan bertujuan untuk syi’ar atau memberitahukan serta mengingatkan masyarakat bahwa sebentar lagi akan memasuki waktu shalat atau sebentar lagi adzan akan dikumandangkan.

Tentunya hal ini pada dasarnya bermanfaat, sehingga melihat dari tujuannya maka hukumnya adalah mubah (boleh), alias dibenarkan. Sebagaimana kaidah ushul mengatakan :

لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ
“Perantara-perantara perbuatan memiliki konsekuensi hukum sesuai tujuannya”

Al-Wasail (perantara) merupakan sebuah cara untuk menyampaikan tujuan dari hal tersebut. Dalam hal ini adalah untuk menyampaikan syiar dan memberitahukan masyarakat bahwa sebentar lagi akan memasuki waktu shalat atau sebentar lagi adzan akan dikumandangkan. 

Allah SWT berfirman didalam al-Qur’an :

مَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ 
“Barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah , maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”.

Syaikh Isma’il Utsman Zain al-Yamani al-Makki al-Syafi’i didalam Risalah Taudlih al-Maqshud setelah membahas panjang lebar mengenai penggunaan pengeras suara, kemudian menyimpulkan,

والحاصل من جميع ما ذكرناه ونقلناه في هذه الوريقات أن استعمال مكبّرات الصوت في الأذان وغيره مما شرعًا، وهذا هو الحق والصواب 
“wal hasil dari semua hal yang telah kami sebutkan dan kami kutipkan dalam lembaran-lembaran ini, adalah bahwa mempergunakan pengeras suara dalam adzan dan untuk keperluan lainnya dari hal-hal yang dituntut untuk dikeraskan adalah perkara yang dipuji dalam syara'. Dan ini adalah yang hak dan yang benar”.

Akan tetapi, menyetel murattal dengan speaker di masjid dan mushalla juga perlu sebuah kearifan yakni dengan melihat kondisi masyarakat sekitar, khususnya sebelum adzan Shubuh.

Sebab, jika menyebabkan gangguan (tasywis) dan berakibat buruk maka itu dilarang. Misalnya menyetel murattal di masjid diwaktu sebelum shubuh dengan rentang waktu yang lama hingga mencapai setengah jam sebelum adzan shubuh. Hal seperti ini akan mengganggu mereka yang melakukan shalat tahajjud di masjid atau sekitar masjid. 

Berbeda halnya, dengan waktu-waktu yang lainnya seperti sebelum adzan shalat Jum’at (hari Jum’at), dan selain waktu shubuh. Hal itu kebanyakan tidak membuat masyarakat terganggu. Sehingga tidak dijumpai masyarakat melakukan protes karena mereka terganggu dengan lanturan ayat-ayat suci al-Qur’an melalui speaker.

Oleh karena itu, membahas masalah ini haruslah benar-benar arif dengan melihat kondisi masyarakat itu sendiri, dan dikembalikan lagi kepada persetujuan masyarakat. [] Wallahu A’lam



1 komentar:

  1. Bagaimana jika dirasa mengganggu orang yang sedang shalat dan tidur ?
    Bagaimana pula jika dihubungkan dengan hadits teguran Nabi saw terhadap orang yang mengeraskan bacaan al-qur'an di masjid ketika ada yang shalat ?

    BalasHapus