Rabu, 04 Februari 2015

TENTANG TAWASSUL



الا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ .الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
Ketahuilah! Sesungguhnya wali-wali Allah, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan mereka pula tidak bersedih hati. Wali-wali Allah itu ialah orang-orang Yang beriman serta mereka pula sentiasa bertaqwa. (Yunus 10: 62-63)
بسم الله الرحمن الرحيم
نحمده ونصلى على رسوله الكريم
Nur Muhammad Menurut Al-qur’an & Hadits
Adapaun mengenai konsep nur muhammad dijelaskan sebagai berikut :
A. Ayat-ayat Al-qur’an dalil tawassul dan Nur Muhammad
1. Dalam surat an-Nisa’ ayat 64, Allah swt. berfirman:
“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu(Muhammad saw.) lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul (Muhammad saw.) pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.
2. Dalam surat  Al-Maidah ayat 35:
‘Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dan carilah washilah….”
Keterangan :
Ibnu Taimiyyah disalah satu kitabnya Qa’idah Jalilah Fit-Tawassul Wal-Washilah dalam pembicaraannya mengenai tafsir ayat Al-Qur’an Al-Maidah: 35 menulis: ‘Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dan carilah washilah….’ antara lain mengatakan:
“Mencari washilah atau bertawassul untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. hanya dapat dilakukan oleh orang yang beriman kepada Muhammad Rasulallah saw. dan mengikuti tuntunan agamanya. Tawassul dengan beriman dan taat kepada beliau saw. adalah wajib bagi setiap orang, lahir dan bathin, baik dikala beliau masih hidup maupun setelah wafat, baik langsung dihadapan beliau sendiri atau pun tidak. Bagi setiap muslim, tawassul dengan iman dan taat kepada Rasulallah saw. adalah suatu hal yang tidak mungkin dapat ditinggalkan. Untuk memperoleh keridhoan Allah dan keselamatan dari murka-Nya tidak ada jalan lain kecuali tawassul dengan beriman dan taat kepada Rasul-Nya. Sebab, beliaulah penolong (Syafi’) ummat manusia.
Beliau saw. adalah makhluk Allah termulia yang dihormati dan diagungkan oleh manusia-manusia terdahulu maupun generasi-generasi berikutnya hingga hari kiamat kelak. Diantara para Nabi dan Rasul yang menjadi penolong ummatnya masing-masing. Muhammad Rasulallah saw. adalah penolong (Syafi’) yang paling besar dan tinggi nilainya dan paling mulia dalam pandangan Allah swt. Mengenai Nabi Musa as. Allah swt. berfirman, bahwa Ia mulia disisi Allah. Mengenai Nabi Isa a.s. Allah swt. juga berfirman bahwa Ia mulia didunia dan diakhirat, namun dalam firman-firman-Nya yang lain menegaskan bahwa Muhammad Rasulallah saw. lebih mulia dari semua Nabi dan Rasul. Syafa’at dan do’a beliau pada hari kiamat hanya bermanfaat bagi orang yang bertawassul dengan iman dan taat kepada beliau saw. Demikianlah pandangan Ibnu Taimiyyah mengenai tawassul.
Dalam kitabnya Al-Fatawil-Kubra I :140 Ibnu Taimiyyah menjawab atas pertanyaan: Apakah tawassul dengan Nabi Muhammad saw. diperbolehkan atau tidak? Ia menjawab: “Alhamdulillah mengenai tawassul dengan mengimani, mencintai, mentaati Rasulallah saw. dan lain sebagainya adalah amal perbuatan orang yang bersangkutan itu sendiri, sebagaimana yang di perintahkan Allah kepada segenap manusia. Tawassul sedemikian itu di- benarkan oleh syara’ dan dalam hal itu seluruh kaum muslimin sepen- dapat.”
3. Dalam Surat Al-Baqarah :37, mengenai Tawassul Nabi Adam as. pada Rasulallah saw.:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ اَنَّهُ هُوَا الـَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang ”.
Keterangan :
Tawassul Nabi Adam as. pada Rasulallah saw..  Sebagaimana disebutkan pada firman Allah swt. (Al-Baqarah :37) diatasMenurut ahli tafsir kalimat-kalimat dari Allah yang diajarkan kepada Nabi Adam as. pada ayat diatas agar taubat Nabi Adam as. diterima ialah dengan menyebut dalam kalimat taubatnya bi-haqqi (demi kebenaran) Nabi Muhammad saw. dan keluarganya. Makna seperti ini bisa kita rujuk pada kitab: Manaqib Ali bin Abi Thalib,  oleh Al-Maghazili As-Syafi’i halaman 63, hadits ke 89; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusui Al-Hanafi, halaman 97 dan 239 pada  cet.Istanbul,. halaman 111, 112, 283 pada cet. Al-Haidariyah; Muntakhab Kanzul ‘Ummal, oleh Al-Muntaqi, Al-Hindi (catatan pinggir) Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, halaman 419; Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i, jilid 1 halaman 60; Al-Ghadir, oleh Al-Amini, jilid 7, halaman 300 dan Ihqagul Haqq, At-Tastari jilid 3 halaman 76. Begitu juga pendapat Imam Jalaluddin Al-Suyuthi waktu menjelaskan makna surat Al-Baqarah :37 dan meriwayatkan hadits tentang taubatnya nabi Adam as. dengan tawassul pada Rasulallah saw.
Nabi Adam as. ,manusia pertama, sudah diajarkan oleh Allah swt. agar taubatnya bisa diterima dengan bertawassul pada Habibullah Nabi Muhammad saw., yang mana beliau belum dilahirkan di alam wujud ini. Untuk mengkompliti makna ayat diatas tentang tawassulnya Nabi Adam as. ini, kami akan kutip berikut ini beberapa hadits Nabi saw. yang berkaitan dengan masalah itu:
Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak/Mustadrak Shahihain jilid 11/651 mengetengahkan hadits yang berasal dari Umar Ibnul Khattab ra. (diriwayat- kan secara berangkai oleh Abu Sa’id ‘Amr bin Muhammad bin Manshur Al-‘Adl, Abul Hasan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim Al-Handzaly, Abul Harits Abdullah bin Muslim Al-Fihri, Ismail bin Maslamah, Abdurrahman bin Zain bin Aslam dan datuknya) sebagai berikut, Rasulallah saw.bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ الله.صَ. : لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمَُ الخَطِيْئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ أسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ لِي,
فَقالَ اللهُ يَا آدَمُ, وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أخْلَقُهُ ؟ قَالَ: يَا رَبِّ ِلأنَّـكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيدِكَ
وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ رَفَعْتُ رَأسِي فَرَأيـْتُ عَلَى القَوَائِمِ العَرْشِ مَكْتُـوْبًا:لإاِلَهِ إلاالله
مُحَمَّدَُ رَسُـولُ اللهِ, فَعَلِمْتُ أنَّكَ لَمْ تُضِفْ إلَى إسْمِكَ إلا أحَبَّ الخَلْقِ إلَيْكَ, فَقَالَ اللهُ
صَدَقْتَ يَا آدَمُ إنَّهُ َلاَحَبَّ الخَلْقِ إلَيَّ اُدْعُنِي بِحَقِّهِ فَقـَدْ غَفَرْتُ لَكَ, وَلَوْ لاَمُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ.
“Setelah Adam berbuat dosa ia berkata kepada Tuhannya: ‘Ya Tuhanku, demi kebenaran Muhammad aku mohon ampunan-Mu’. Allah bertanya (sebenarnya Allah itu maha mengetahui semua lubuk hati manusia, Dia bertanya ini agar Malaikat dan makhluk lainnya yang belum tahu bisa mendengar jawaban Nabi Adam as.): ‘Bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal ia belum kuciptakan?!’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau menciptakan aku dan meniupkan ruh kedalam jasadku, aku angkat kepalaku. Kulihat pada tiang-tiang ‘Arsy termaktub tulisan Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah. Sejak saat itu aku mengetahui bahwa disamping nama-Mu, selalu terdapat nama makhluk yang paling Engkau cintai’. Allah menegaskan: ‘Hai Adam, engkau benar, ia memang makhluk yang paling Kucintai. Berdo’alah kepada-Ku bihaqqihi (demi kebenarannya), engkau pasti Aku ampuni. Kalau bukan karena Muhammad engkau tidak Aku ciptakan’ “.
Hadits diatas diriwayatkan oleh Al-Hafidz As-Suyuthi dan dibenarkan olehnya dalamKhasha’ishun Nabawiyyah dikemukakan oleh Al-Baihaqi didalam Dala ’ilun Nubuwwah, diperkuat kebenarannya oleh Al-Qisthilani dan Az-Zarqani di dalam Al-Mawahibul Laduniyyah jilid 11/62, disebutkan oleh As-Sabki di dalam Syifa’us Saqam, Al-Hafidz Al-Haitsami mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh At-Thabarani dalam Al-Ausath dan oleh orang lain yang tidak dikenal dalam Majma’uz Zawa’id jilid V111/253.
Sedangkan hadits yang serupa/senada diatas yang sumbernya berasal dari Ibnu Abbas hanya pada nash hadits tersebut ada sedikit perbedaan yaitu dengan tambahan:
وَلَوْلآ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُ آدَمَ وَلآ الجَنَّةَ وَلآ النَّـارَ
‘Kalau bukan karena Muhammad Aku (Allah) tidak menciptakan Adam, tidak menciptakan surga dan neraka’.
Mengenai kedudukan hadits diatas para ulama berbeda pendapat. Ada yang menshohihkannya, ada yang menolak kebenaran para perawi yang meriwayatkannya, ada yang memandangnya sebagai hadits maudhu’, seperti Adz-Dzahabi dan lain-lain, ada yang menilainya sebagai hadits dha’if dan ada pula yang menganggapnya tidak dapat dipercaya. Jadi, tidak semua ulama sepakat mengenai kedudukan hadits itu. Akan tetapi Ibnu Taimiyah sendiri untuk persoalan hadits tersebut beliau menyebutkan dua hadits lagi yang olehnya dijadikan dalil. Yang pertama yaitu diriwayatkan oleh Abul Faraj Ibnul Jauzi dengan sanad Maisarah yang mengatakan sebagai berikut :
قُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ, مَتَى كُنْتَ نَبِيَّا ؟ قَالَ: لَمَّا خَلَقَ اللهُ الأرْضَ وَاسْتَوَى إلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَما وَا تٍ,
وَ خَلَقَ العَرْشَ كَتـَبَ عَلَى سَـاقِ العَـرْشِ مُحَمَّتدٌ رَسُوْلُ اللهِ  خَاتَمُ الأَنْبِـيَاءِ , وَ خَلَقَ اللهُ الجَنَّـةَ الَّتِي أسْكَـنَهَا
آدَمَ وَ حَوَّاءَ فَكـُتِبَ إسْمِي عَلَى الأبْـوَابِ وَالأوْرَاقِ وَالقـِبَابِ وَ الخِيَامِ وَ آدَمُ بَيْـنَ الرَُوْحِ وَ الجَسَدِ,فَلَـمَّا أحْيَاهُ اللهُ
تَعَالَى نَظَرَ إلَى العَـرْشِ , فَرَأى إسْمِي فَأخْبَرَهُ الله أنَّهُ سَيِّدُ وَلَدِكَ, فَلَمَّا غَرَّهُمَا الشَّيْطَانُ  تَابَا وَاسْتَشْفَعَا بِإسْمِي عَلَيْهِ
“Aku pernah bertanya pada Rasulallah saw.: ‘Ya Rasulallah kapankah anda mulai menjadi Nabi?’ Beliau menjawab: ‘Setelah Allah menciptakan tujuh petala langit, kemudian menciptakan ‘Arsy yang tiangnya termaktub Muham- mad Rasulallah khatamul anbiya (Muhammad pesuruh Allah terakhir para Nabi), Allah lalu menciptakan surga tempat kediaman Adam dan Hawa, kemudian menuliskan namaku pada pintu-pintunya, dedaunannya, kubah-kubahnya dan khemah-khemahnya. Ketika itu Adam masih dalam keadaan antara ruh dan jasad. Setelah Allah swt .menghidupkannya, ia memandang ke ‘Arsy dan melihat namaku. Allah kemudian memberitahu padanya bahwa dia (yang bernama Muhammad itu) anak keturunanmu yang termulia. Setelah keduanya (Adam dan Hawa) terkena bujukan setan mereka ber- taubat kepada Allah dengan minta syafa’at pada namaku’ ”.
Sedangkan hadits yang kedua berasal dari Umar Ibnul Khattab (diriwayatkan secara berangkai oleh Abu Nu’aim Al-Hafidz dalam Dala’ilun Nubuwwah oleh Syaikh Abul Faraj, oleh Sulaiman bin Ahmad, oleh Ahmad bin Rasyid, oleh Ahmad bin Said Al-Fihri, oleh Abdullah bin Ismail Al-Madani, oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan ayahnya) yang mengatakan bahwa Nabi saw. berrsabda:
لَمَّا أصَابَ آدَمَ الخَطِيْئَةُ, رَفَعَ رَأسَهُ فَقَالَ: يَا رَبِّ بَحَقِّ مُحَمَّدٍ إلاَّ غَفَرْتَ لِي, فَأوْحَى إلَيْهِ, وَمَا مُحَمَّدٌ ؟
وَمَنْ مُحَمَّدٌ ؟ فَقَالَ: : يَا رَبِّ إنَّكَ لَمَّا أتْمَمْتَ خَلْقِي وَرَفَعْتُ رَأسِي إلَى عَرْشِكَ فَإذَا عَلَيْهِ مَكْتُوْبٌ
لإلَهِ إلااللهُ مُحَمَّدٌ رَسُـولُ اللهِ فَعَلِمْتُ أنَّهُ أكْرَمُ خَلْقِـكَ عَلَيْكَ إذْ قَرََرَنْتَ إسْمُهُ مَعَ اسْمِكَ فَقَالَ, نَعَمْ, قَدْ غَفَرْتُ لَكَ ,
وَهُوَ آخِرُ الأنْبِيَاءِمِنْ ذُرِّيَّتِكَ, وَلَوْلاَهُ مَا خَلَقْتُكَ
“Setelah Adam berbuat kesalahan ia mengangkat kepalanya seraya berdo’a: ‘Ya Tuhanku, demi hak/kebenaran Muhammad niscaya Engkau berkenan mengampuni kesalahanku’. Allah mewahyukan padanya: ‘Apakah Muhamad itu dan siapakah dia?’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau menyempurnakan penciptaanku, kuangkat kepalaku melihat ke ‘Arsy, tiba-tiba kulihat pada “Arsy-Mu termaktub Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah. Sejak itu aku mengetahui bahwa ia adalah makhluk termulia dalam pandangan-Mu, karena Engkau menempatkan namanya disamping nama-Mu’. Allah menjawab: ‘Ya benar, engkau Aku ampuni,. ia adalah penutup para Nabi dari keturunanmu. Kalau bukan karena dia, engkau tidak Aku ciptakan’ ”.
Yang lebih heran lagi dua hadits terakhir ini walaupun diriwayatkan dan di benarkan oleh Ibnu Taimiyyah, tapi beliau ini belum yakin bahwa hadits-hadits tersebut benar-benar pernah diucapkan oleh Rasulallah saw.. Namun Ibnu Taimiyyah toh membenarkan makna hadits ini dan menggunakannya untuk menafsirkan sanggahan terhadap sementara golongan yang meng- anggap makna hadits tersebut bathil/salah atau bertentangan dengan prinsip tauhid dan anggapan-anggapan lain yang tidak pada tempatnya. Ibnu Taimiy yah dalam Al-Fatawi jilid XI /96 berkata sebagai berikut:
“Muhammad Rasulallah saw. adalah anak Adam yang terkemuka, manusia yang paling afdhal (utama) dan paling mulia. Karena itulah ada orang yang mengatakan, bahwa karena beliaulah Allah menciptakan alam semesta, dan ada pula yang mengatakan, kalau bukan karena Muhammad saw. Allah swt. tidak menciptakan ‘Arsy, tidak Kursiy (kekuasaan Allah), tidak menciptakan langit, bumi, matahari dan bulan. Akan tetapi semuanya itu bukan ucapan Rasulallah saw, bukan hadits shohih dan bukan hadits dho’if, tidak ada ahli ilmu yang mengutipnya sebagai ucapan (hadits) Nabi saw. dan tidak dikenal berasal dari sahabat Nabi. Hadits tersebut merupakan pembicaraan yang tidak diketahui siapa yang mengucapkannya. Sekalipun demikian makna hadits tersebut tepat benar dipergunakan sebagai tafsir firman Allah swt.: “Dialah Allah yang telah menciptakan bagi kalian apa yang ada dilangit dan dibumi ” (S.Luqman : 20), surat Ibrahim 32-34 (baca suratnya dibawah ini–pen.) dan ayat-ayat Al-Qur’an lainnya yang menerangkan, bahwa Allah menciptakan seisi alam ini untuk kepentingan anak-anak Adam. Sebagai- mana diketahui didalam ayat-ayat tersebut terkandung berbagai hikmah yang amat besar, bahkan lebih besar daripada itu. Jika anak Adam yang paling utama dan mulia itu, Muhammad saw. yang diciptakan Allah swt. untuk suatu tujuan dan hikmah yang besar dan luas, maka kelengkapan dan kesempurnaan semua ciptaan Allah swt. berakhir dengan terciptanya Muhammad saw.“. Demikianlah Ibnu Taimiyyah.
Firman-Nya dalam  surat Ibrahim 32-34 yang dimaksud Ibnu Taimiyyah ialah:
اللهُ الَّذِى خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَ الاَرْضَ وَاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً َفاَََخْرَجَ بِهِ
مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًالَكُمْ وَسَخَّرَ لَكُمُ الفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِى البَحْرِ بِاَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ
الاَنْهَارَ َوَسَخَّرَ  لَكُمُ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَآتَاكُمْ مِنْ
كُلِّ مَا سَاَلْتُمُوْه وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا اِنَّ الاِنْسَانَ لَظَلُوْمٌ كَفَّارٌ
“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rizki untuk kalian, dan Dia telah menundukkan bahtera bagi kalian supaya bahtera itu dapat berlayar di lautan atas kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagi kalian. Dan Dia jualah yang telah menundukkan bagi kalian matahari dan bulan yang terus menerus beredar dalam orbitnya masing-masing dan telah menundukkan bagi kalian siang dan malam. Dan Dia jugalah yang memberikan kepada kalian apa yang kalian perlukan/mohonkan. Dan jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, kalian tidak akan dapat mengetahui berapa banyaknya. Sesungguhnya manusia itu, sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)”.(QS Ibrahim :32-34). DAPAT DISIMPULKAN JUGA BAHWA IBNU TAYMIYAH MENGAKUI KONSEP “NUR MUHAMMAD” BAHWA NUR NABI MUHAMMAD ADALAH MAKHLUQ YANG PERTAMA KALI DICIPTAKAN. Dan perhatikan kebiasaan buruk dan kedustaan ibnu taymiyah (mati 721 H)  yang mengatakan “tidak ada ahli ilmu yang mengutipnya” padahal imam Thabrani (wafat 360 H) menulisnya dalam al -ausath, Abu Nu’aim (wafat 430 H)  dalam Dala’ilun Nubuwwah dsb.

B.  Kitab “al-Wafaa bi ahwaalil Musthofa s.a.w.” (Ibnu Qudamah al-Maqdisy 509 H)
Imam ‘Abdur Rahman bin ‘Ali yang terkenal dengan nama Imam Ibnul Jawzi ulama besar bermazhab Hanbali yang dilahirkan pada tahun 509/510H di Baghdad. Beliau adalah pengarang dan daie yang terkenal yang banyak menyedarkan umat serta ramai yang memeluk Islam di tangannya. Beliau adalah guru kepada Ibnu Qudamah al-Maqdisy yang masyhur itu.Tersebutlah dalam karya beliau yang berjodol “al-Wafaa bi ahwaalil Musthofa s.a.w.” akan kisah penciptaan Junjungan Nabi s.a.w. yakni penciptaan benih asal jasad baginda s.a.w. Kisahnya adalah sebagai berikut:-
عن كعب الأحبار قال: لما أراد الله تعالى أن يخلق محمداً صلى الله عليه وسلم أمر جبريل عليه السلام أن يأتيه فأتاه بالقبضة البيضاء التي هي موضع قبر رسول الله صلى الله عليه وسلم، فعجنت بماء التَّسْنيم، ثم غمست في أنهار الجنة، وطيف بها في السموات والأرض، فعرفت الملائكة محمداً وفَضْله قبل أن تعرف آدم، ثم كان نور محمد صلى الله عليه وسلم يُرى في غُرَّة جبهة آدم. وقيل له: يا آدم هذا سيد ولدك من الأنبياء والمرسلين.
فلما حملت حواء بشيت انتقل عن آدم إلى حواء، وكانت تلد في كل بطن ولدين إلا شيتاً، فإنها ولدته وحده، كرامة لمحمد صلى الله عليه وسلم. ثم لم يزل ينتقل من طاهر إلى طاهر إلى أن ولد صلى الله عليه وسلم.
Daripada Ka’ab al-Ahbar: ” Tatkala Allah ta’ala berkehendak untuk menciptakan Nabi Muhammad s.a.w., Dia memerintahkan Jibril a.s. untuk membawakan segenggam tanah putih yang merupakan tanah tempat Junjungan Nabi s.a.w. dimakamkan nanti. Maka diulilah tanah tersebut dengan air Tasniim (air syurga) lalu dicelupkan ke dalam sungai-sungai syurga. Setelah itu, dibawakan dia berkeliling ke serata langit dan bumi. Para malaikat pun mengenali Junjungan Nabi s.a.w. dan keutamaan baginda sebelum mereka mengenali Nabi Adam a.s. Ketika nur Junjungan Nabi s.a.w. kelihatan di kening dahi Nabi Adam a.s., dikatakan kepadanya: “Wahai Adam, inilah sayyid (penghulu) keturunanmu daripada para anbiya’ dan mursalin.
Tatkala Siti Hawa mengandungkan Nabi Syits berpindahlah Nur Muhammad tersebut kepada Siti Hawa. Siti Hawa yang biasanya melahirkan anak kembar setiap kali hamil, tetapi pada hamilnya ini dia hanya melahirkan seorang anak sahaja iaitu Nabi Syits kerana kemuliaan Junjungan Nabi s.a.w. Maka sentiasalah berpindah-pindah Nur Muhammad daripada seorang yang suci kepada orang suci yang lain sehinggalah baginda dilahirkan.
C. Syaikh Muhammad Mutawalli asy-Sya’raawi dalam “Anta tas-al wal Islam yajib”

TIDUR YANG TIDAK MEMBATALKAN SHOLAT



TIDUR YANG TIDAK MEMBATALKAN SHOLAT

Banyak hal-hal yang menyebabkan batalnya wudlu’, namun bagaimanakah dengan orang yang tidur apakah wudlu’nya menjadi batal?
Imam Madzahib al-Arba’ah mempunyai pandangan yang berbeda.
a.      Menurut Imam Malik: Apabila tidurnya pulas (sekiranya orang tidur tidak merasakan peristiwa-peristiwa di sekitarnya) maka tidur seperti ini membatalkan wudlu’.
b.      Menurut Imam Syafi’i: Apabila orang tersebut menetapkan pantatnya pada tempat duduk maka tidur seperti itu tidak membatalkan wudlu’.
c.       Menurut Imam Abu Hanifah: Apabila tidurnya dalam keadaan berdiri, duduk/sujud (seperti tingkah shalat) maka tidak membatalkan shalat, bila selain keadaan seperti itu (tidur berbaring, tengkurap) maka tidur tersebut membatalkan wudlu’.
d.      Menurut Imam Ahmad: Apabila tidurnya dengan posisi duduk/berdiri tidak membatalkan wudlu’ dan bila tidur selain kedua kondisi tersebut maka membatalkan wudlu’.
وَاخْتَلَفَ اَلْعُلَمَاءُ فِىْ نَقْضِ اْلوُضُوْءِ باِلنَّوْمِ فَنَظَرَ ماَلِكٌ اِلَى صِفَةِ النَّوْمِ فَقاَلَ اِنْ كاَنَ ثَقِيْلاً ( وَهُوَ اَلَّذِىْ لاَ يَحِسُّ صَاحِبُهُ بِمَا فَعَلَ بِحَضْرَتِهِ ) نَقَضَ اَلْوُضُوْءُ وَاِنْ كاَنَ خَفِيْفاً فَلاَ . وَنَظَرَ اَلشَّفِعِىُّ اِلَى صِفَةِ النَّائِمِ فَقاَلَ اِنْ نَامَ مُمَكِّناً مَقْعَدَتَهُ مِنَ اْلاَرْضِ لاَيَنْقُضُ وُضُؤُهُ وَاِلاَّ اِنْتَقَضَ . وَقاَلَ اَبُوْ حَنِيْفَةَ اِنْ نَامَ عَلَى حَالَةٍ مِنْ اَحْوَالِ الصَّلاَةِ (كَأَنْ ناَمَ قاَئِماً اَوْ قاَعِدًا اَوْسَاجِدًا ) لَمْ يَنْقُضْ اَلْوُضُوْءُ وَاِلاَّ نَقَضَ . وَقاَلَ اَحْمَدُ اِذاَ ناَمَ قاَعِدًا اَوْقاَئِمًا لَمْ يَنْقُضْ اَلْوُضُوْءُ وَاِلاَّ نَقَضَ .ابانة الاحكام ج 1 ص 124.
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai apakah tidur itu bisa membatalkan wudlu’? imam Malik lebih memandang kepada sifatnya tidur itu sendiri, beliau mengatakan: apabila tidur tersebut kategori tidur pulas (sekira orang yang tidur tidak merasakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di depannya), maka tidur seperti ini membatalkan wudlu’, dan apabila tidur tersebut termasuk kategori ringan, maka tidaklah membatalkan wudlu’. Sedangkan Imam al-Syafi’i lebih memandang kepada sifatnya orang tidur tersebut. Beliau mengatakan: apabila orang tersebut tidur dengan menetapkan pantatnya pada bumi, maka tidur seperti ini tidaklah membatalkan wudlu’, dan apabila tidak menetapkan pantatnya, maka batAllah Swt. wudlu’nya. Abu Hanifah berkata: apabila seorang tidur dengan keadaan seperti tingkahnya orang yang sedang mengerjakan shalat (sambil berdiri, duduk atau sujud), maka tidaklah membatalkan wudlu’ dan apabila keadaannya tidak seperti itu, maka tidur tersebut membatalkan wudlu’. Imam Ahmad berkata: Apabila seseorang tidur dengan duduk atau berdiri, maka tidaklah membatalkan wudlu’, dan jika tidak sambil duduk atau berdiri, maka tidur tersebut membatalkan wudlu’. (Ibanah al-Ahkam, juz I, hal.124)

BACAAN BASMALAH DALAM SHOLAT



 BACAAN BASMALAH DALAM SHOLAT
Masalah membaca Basmalah dalam fatihah shalat merupakan salah satu masalah besar dalam agama Islam karena menyangkut sah atau tidaknya shalat. Bagaimanakah hukum membaca basmalah dalam surat al-Fatihah ketika shalat? Dan kalau wajib, apakah harus dikeraskan bacaannya?
Membaca Basmalah merupakan ibadah yang paling besar sesudah tauhid, demikian dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu juz III, hal.334.
a. Menurut Madzhab Syafi’i, hukum membaca Basmalah dalam al-Fatihah ketika shalat adalah wajib, karena bacaan Basmalah itu salah satu ayat dari al-Fatihah yang menjadi rukun shalat itu sendiri.
وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيْمَ (الحجر: 87).
Dan sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu (hai Muhammad) tujuh yang berulang-ulang dan al-Qur’an yang agung. (QS. Al-Hijr: 87)
Imam Syafi’i berkata:
قَالَ الشَّافِعِيُّ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اْلآيَةُ السَّابِعَةُ فَإِنْ تَرَكَهَا أَوْ بَعْضَهَا لَمْ تُجْزِهِ الرَّكْعَةُ الَّتِيْ تَرَكَهَا فِيْهَا
Imam syafi’i berkata, Bismillahirrahmanirrahim adalah termasuk ayat tujuh dari fatihah, kalau ditinggalkan semuanya atau sebagiannya tidaklah cukup rakaat shalat yang tertinggal membaca bismillahirrahmanirrahim dalam rakaat itu. (al-Umm, juz I, hal. 107).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ إِذَا قَرَأَ وَهُوَ يَؤُمُّ النَّاسَ اِفْتَتَحَ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ.
Apabila Nabi membaca (surat al-Fatihah) dan menjadi imam manusia, maka Nabi memulai (bacaan surat al-Fatihah) dengan bacaan basmalah.
(Diriwayatkan dari Dar al-Quthni dalam kitab al-Majmu’, juz III, hal. 34).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: إِذَا قَرَءْ تُمُ الْحَمْدُ ِللهِ فَاقْرَؤُوْا بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ أَنَّهَا أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ أَحَدُ آياَتِهَا.
Dari Abu Hurairah ra, Nabi bersabda: Apabila kalian membaca surat al-Fatihah, maka bacalah basmalah. Sesungguhnya surat al-Fatihah adalah ummul qur’an, ummul kitab dan sab’ul matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang), sedangkan basmalah adalah termasuk satu ayat dari surat al-Fatihah. (Diriwayatkan oleh Dar al-Quthni dalam kitab Tafsir Ayatul Ahkam, juz I, hal. 34)
عَنْ أَبِيْ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَفْتَتِحُ الصَّلاَةَ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ.
Diceritakan dari Ibnu Abbas, Bahwasannya Rasulullah itu memulai shalat dengan bacaan basmalah. (Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dalam kitab Tafsir Ayatul Ahkam, juz I, hal. 47)
Dari keterangan di atas Basmalah termasuk salah satu ayat dari surat al-Fatihah. Membaca surat al-Fatihah dalam shalat termasuk rukunnya shalat. Bagi yang ber’itiqad kalau basmalah itu bukan salah satu ayat dari al-Fatihah maka shalatnya tidak sah dan batal.
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa basmalah merupakan sebagian surat dari al-Fatihah, sehingga harus dibaca manakala membaca al-Fatihah dalam shalat. Dan juga basmalah disunnahkan untuk dikeraskan sebagaimana sunnahnya mengeraskan al-Fatihah dalam shalat jahriyyah (shalat yang disunnahkan untuk mengeraskan suara).
b. Menurut Madzhab Maliki, bahwa basmalah bukan merupakan satu ayat dari surat al-Fatihah bahkan bukan merupakan satu ayat dari al-Quran. Hal ini berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan ‘Aisyah Ra. (Diriwayatkan oleh Dar al-Quthni dalam kitab Tafsir Ayatul Ahkam, juz I, hal. 35)
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيْرِ وَالْقِرَاءَةِ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Berdasarkan keterangan tersebut, maka tidak wajib membaca basmalah pada waktu fatihahnya shalat baik sirri atau keras.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ إِذَا ظَهَرَتِ اْلبِدَعُ فِيْ أُمَّتِيْ فَلْيُظْهِرْ العَالِمُ عِلْمَهُ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ. رَوَاه الدَّيْلَمِي
Para penguasa memiliki tanggung jawab yang besar dalam hal ini. Para ulama dan pejuang Islam berkewajiban untuk terus mendidik dan membentengi umat dari upaya-upaya liberalisasi dan sekulerisasi.
Kebangkitan harus terus dikumandangkan. Persatuan harus terus diupayakan. Akidah dan syari’ah harus terus dijaga. Dan ketika musuh Islam dengan segala kelicikannya menebar permusuhan, maka  harus dilawan..!!!
(Riwayat ini oleh masyarakat mesir sering dibaca dengan lagu yang indah pada waktu menjelang shubuh untuk TARHIM

يا كريم

كاَنَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَطُوْفُ فِي الْكَعْبَةْ فَرَأَى أَعْرَابِيًّا يَطُوْفُ بِهاَ وَيَقُوْلُ : ياَ كَرِيْم , فَقَالَ النَّبِيُ صلى الله عليه وسلم  وَرَاءَهُ : ياَ كَرِيْم – فاَنْتَقَلَ الْأَعْرَابِيُّ اِلَى رُكْنِ الثَّانِيْ وقاَلَ: يا كريم, فَقاَلَ النَّبِيُّ (صلى الله عليه وسلم) – فَقَالَ الْحَبِيْبُ (صلى الله عليه وسلم) وَرَاءَهُ : يا كريم, فَانْتَقَلَ الْأَعْرَابِيُّ اِلَى الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ  فَقاَلَ : يا كريم-  فقال النبي (صلى الله عليه وسلم) – فقال الحبيب (صلى الله عليه وسلم) وراءه : يا كريم, فَالْتَفَتَ الْأَعْرَاِبي فَقاَلَ: أَتَمْزَحُوْنَنِيْ ياَ أَخَ الْعَرَبِ؟ وَاللهِ لَوْلاَ صَباَحَةُ وَجْهِكَ وَبَلَغَ طاَ لِقَتكَ لَشَكَوْت اِلَى حَبِيْبِيْ مُحَمَّداً- فَقاَلَ لَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَوَلاَ تَعْرِفُ نَبِيَّكَ يا أخ العرب؟ قَالَ وَاللهِ أَمَنْتُ بِهِ وَلَمْ أَرَهُ وَدَخَلْتُ مَكَّةَ وَلَمْ أَلْقَهُ – قاَلَ لَهُ النَّبِيُّ (صلى الله عليه وسلم) اَنَا نَبِيُّكَ يا أخ العرب – فَانْكَبَّ الأعرابي عَلىَ يَدِ النَّبِيِّ يُقَبِّلُهاَ وَيَقُوْلُ: فِدَاكَ أَبِيْ وَأُمِّيْ ياَ حَبِيْبَ اللهِفَنَزَلَ جِبْرِيْلُ الْأَمِيْنُ عَلىَ النَّبِيِّ وَقاَلَ لَهُ : ياَ حَبِيْبَ اللهِ (صلى الله عليه وسلم) – اللهُ يُقْرِئُكَ السَّلاَمَ وَيَقُوْلُ لَكَ : قُلْ لِهَذاَ الأعرابي  : أَيَظُنُّ إِنْ قاَلَ ياَ كَرِيْم أَنَّناَ لاَ نُحاَسِبُهُ؟ فَقاَلَ الأعرابي : وَاللهِ ياَ نَوْرَ الْعَيْنِ   ياَ جَدَّ الْحَسَنَيْنِ , لَوْ حَاسَبَنِيْ رَبِّيْ لَأُحاَسِبَنَّهُ – قَالَ لَهُ النَّبِيُّ (صلى الله عليه وسلم) : وَكَيْفَ تُحاَسِبُ رَبَّكَ يا أخ العرب؟ قاَلَ: لَئِنْ حاَسَبَنِيْ عَلىَ ذَنْبِيْ حاَسَبْتُهُ عَلىَ مَغْفِرَتِهِ – وَإِنْ حاَسَبَنِيْ عَلىَ تَقْصِيْرِيْ حاَسَبْتُهُ عَلىَ جُوْدِهِ وَكَرَمِهِ – فَقاَلَ جِبْرِيْلُ الْأِمِيْنُ: ياَ حَبِيْبَ اللهِ , اللهُ يَقُوْلُ لَكَ – قُلْ لِهَذاَ الْأَعْرَابِيّ أَنْ لاَ يَحاَسِبَناَ وَلاَ نُحاَسِبُهُ – الله أكبر!!!

Asal Usul Shalawat Tarhim

shalawat ini pertama kali dipopulerkan di Indonesia melalui Radio Yasmara (Yayasan Masjid Rahmat), Surabaya pada akhir tahun 1960′an. Penciptanya adalah Shaikh Mahmoud Khalil Al Hussary, ketua Jam’iyyatul Qurro’ di Kairo, Mesir. Bagaimana asal mula ceritanya shalawat tarhim ini akhirnya bisa sampai ke Indonesia? Menurut Cak Nun Syaikh Al Hussary pernah berkunjung ke Indonesiamisi belum diketahui, mungkin dalam rangka study tour—dan beliau ‘dibajak’ di Lokananta, Solo untuk rekaman shalawat tarhim ini.
Syaikh Mahmoud Al-Hussary (1917-1980, محمود خليل الحصري) adalah ulama lulusan Universitas Al-Azhar dan merupakan salah satu Qâri’  (pembaca Quran) paling ternama di jamannya, sampai-sampai ia digelari Shaykh al-Maqâri (sing ahli qiroah). Syaikh Al-Hussary dikenal karena kepiawaiannya dalam membaca Qur’an secara tartîl. Ia mengatakan bahwa membaca Qur’an bukan semata-mata tentang irama (lagu) atau seni bacaannya, yang paling penting adalah tartîl: memahami bacaan Qur’an dengan baik dan benar, yaitu melalui studi kebahasaan (linguistik) dan dialek Arab kuno, serta penguasaan teknik pelafalan huruf maupun kata-perkata dalam Quran. Dengan begitu bisa dicapai tingkat kemurnian (keaslian makna) yang tinggi dalam membaca Al-Qur’an